Mojokerto, Jawa Timur – M Fatoni Aris Cahyono, yang dikenal sebagai Fathin Oktavia, seorang waria berusia 29 tahun asal Dusun Rungkut, Desa Randuharjo, Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto, ditangkap oleh pihak kepolisian karena terlibat dalam praktik penyebaran konten pornografi. Fathin diketahui memproduksi dan menjual video porno sesama jenis melalui grup media sosial tertutup, dan berhasil menggaet sebanyak 250 anggota.
Penangkapan ini terungkap berkat patroli siber yang dilakukan oleh Satuan Reserse Kriminal (Reskrim) Polres Mojokerto. Kasat Reskrim, AKP Fauzy Pratama, menjelaskan bahwa dalam patroli tersebut pihaknya menemukan akun yang menawarkan konten pornografi yang melibatkan waria atau gay. “Ketika patroli siber, kami menemukan penjualan konten porno sesama jenis waria atau gay,” ujar Fauzy pada Sabtu (6/9/2025).
Unit Resmob yang dipimpin oleh Ipda Sukron Makmun berhasil menangkap Fathin pada Selasa (2/9/2025) sekitar pukul 21.00 WIB di kos Dusun Tegaldadi, Desa Mojosulur, Kecamatan Mojosari. Dari lokasi penangkapan, polisi menyita sejumlah barang bukti, termasuk satu ponsel, kartu ATM, kondom, pelumas, losion, tripod, dan topeng mata. Fathin mengaku melakukan perbuatannya tersebut dan mengakui bahwa ia bertindak sebagai aktor dalam setiap video yang diproduksi.
Fathin diketahui memproduksi lebih dari 150 konten asusila, yang mayoritas menggambarkan hubungan sesama jenis. Ia merekrut lebih dari 20 pria dan waria sebagai lawan main melalui media sosial. Konten-konten ini dijual melalui sistem keanggotaan, di mana setiap anggota dikenakan biaya Rp 150.000 untuk bergabung dalam grup. Pembayaran dilakukan melalui transfer ke rekening bank atas nama Fathin, dan sebagai bukti, ia mengirimkan link akses ke calon anggota.
“Member grup yang dimiliki pelaku berjumlah 250 orang,” tambah Fauzy. Selain itu, Fathin tidak hanya menjual konten, tetapi juga melakukan siaran langsung saat berhubungan badan dengan sesama pria, dengan tarif yang bervariasi mulai dari Rp 100.000 hingga Rp 350.000.
Kini, Fathin mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Polres Mojokerto dan dijerat dengan Pasal 29 junto Pasal 4 Ayat (1) UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi serta Pasal 45 Ayat (1) junto Pasal 27 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kasus ini menjadi sorotan di masyarakat, terutama terkait dengan maraknya praktik penyebaran konten asusila yang dapat berdampak negatif, baik dari segi moral maupun hukum.
Fenomena ini juga membuka diskusi mengenai perlunya edukasi yang lebih baik tentang penggunaan media sosial dan dampak negatif yang dapat ditimbulkannya. Masyarakat diharapkan lebih waspada dan bijak dalam menggunakan platform digital, serta memahami konsekuensi dari tindakan yang melanggar hukum. Penegakan hukum terhadap pelanggaran seperti ini diharapkan dapat menekan angka penyebaran konten yang merugikan banyak pihak, terutama generasi muda.