Masyarakat Filipina Geruduk Kantor Perusahaan Kontraktor Terkait Skandal Korupsi Proyek Pengendalian Banjir
Jakarta, CNN Indonesia – Warga Filipina, yang merupakan korban banjir, bersama aktivis lingkungan, melakukan aksi demonstrasi di kantor St. Gerrard Construction General Contractor and Development Corporation milik keluarga pengusaha Cezarah “Sarah” Discaya dan Pacifico “Curlee” Discaya di Pasig City, pada Kamis (4/9). Aksi ini digelar sebagai respons terhadap dugaan keterlibatan pasangan tersebut dalam skandal korupsi proyek pengendalian banjir yang tak kunjung berhasil.
Para demonstran menuntut keadilan dengan teriakan “Magnanakaw! Ikulong!” (Pencuri! Penjarakan!). Mereka berharap pihak berwenang mengambil tindakan tegas terhadap Discaya, mengingat semakin besarnya ketidakpuasan warga terkait program yang menghabiskan miliaran peso tanpa hasil yang memadai.
Banjir yang melanda berbagai wilayah di Filipina belakangan ini menjadi sorotan utama, terutama setelah pemerintah menggelontorkan anggaran sebesar 545,64 miliar peso (sekitar Rp157 triliun) sejak Juli 2022 hingga Mei 2025. Namun, proyek pengendalian banjir tersebut dinilai gagal, membuat warga mempertanyakan penggunaan uang pajak yang dialokasikan.
Kemarahan publik ini mulai memuncak sejak Juli 2025, setelah laporan mengenai penyisipan anggaran sebesar 142 miliar peso (sekitar Rp41 triliun) pada anggaran nasional 2025. Laporan ini menyebutkan adanya dugaan kolusi di antara pejabat pemerintah, termasuk Presiden Senat, Francis “Chiz” Escudero. Proyek pengendalian banjir yang seharusnya menjadi solusi nyata justru terungkap sebagai salah satu program termahal namun paling kontroversial di negara tersebut.
Dalam pernyataan di State of the Nation Address (SONA) keempat, Presiden Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. menegaskan perlunya penegakan hukum bagi pejabat yang terbukti merugikan negara. “Hasil dari proyek ini seringkali tidak terlihat, dan ratusan miliar peso hilang tanpa jejak,” ungkapnya. Mantan Menteri Pekerjaan Umum, Rogelio “Babes” Singson, juga menyatakan keheranannya mengenai anggaran yang besar namun hasil yang minim, menegaskan bahwa proyek tersebut tidak mampu mengatasi masalah banjir yang terus berulang.
Masalah pengerukan sungai, yang seharusnya menjadi bagian dari solusi pengendalian banjir, tercatat sebagai salah satu titik lemah. Berdasarkan informasi dari mantan Komisioner Audit (COA) Heidi Mendoza, praktik korupsi dalam pengerukan sungai telah menjadi isu kronis. “Banyak proyek pengerukan dilaksanakan saat hujan, menjadikan pengawasan menjadi sulit,” katanya.
Kondisi proyek yang dilaporkan juga menunjukkan ketidakpuasan warga. Beberapa warga dari berbagai daerah melaporkan bahwa proyek pengendalian banjir yang sudah selesai justru tidak memberikan dampak positif. Sebuah proyek di wilayah Hagonoy bahkan dikatakan sudah rusak meski baru saja dirampungkan. “Semua orang di birokrasi bersenang-senang, tetapi kami masih berjuang dalam situasi darurat,” ungkap seorang warga.
Banjir dan masalah infrastruktur ini telah menjadi perhatian besar di Filipina, dengan Isabela, sebagai provinsi yang terdampak, tercatat memiliki 341 proyek penanganan banjir. Namun, beberapa di antaranya mengalami kerusakan serius, seperti retakan pada stasiun pompa.
Sebagai langkah awal, Presiden Marcos telah membentuk badan independen untuk menginvestigasi kasus ini dengan harapan dapat menemukan dan menghukum pihak-pihak yang bertanggung jawab atas “sabotase ekonomi” yang merugikan rakyat Filipina. Keberhasilan tindakan hukum dan transparansi ini dianggap krusial dalam memulihkan kepercayaan publik terhadap pengelolaan anggaran negara.