Dalam suasana yang seharusnya damai, isu sound horeg yang sedang hangat diperbincangkan di Jawa Timur justru memunculkan polemik baru di Kota Blitar. Meski Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur telah mengeluarkan fatwa haram terkait penggunaan sound berkapasitas besar yang dinilai mengganggu ketertiban dan kesehatan masyarakat, Wali Kota Blitar, Syauqul Muhibbin, tetap menegaskan bahwa kondisi di kota cukup kondusif dan belum saatnya mengatur secara khusus fenomena ini. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan, seberapa jauh ketegasan pemerintah daerah dalam menghadapi realita sosial yang berkembang, apalagi di tengah meningkatnya kekhawatiran akan dampak negatif dari teknologi sound yang digunakan secara berlebihan.
Syauqul Muhibbin, yang akrab disapa Mas Ibin, menyampaikan bahwa sampai saat ini belum ada urgensi untuk menerbitkan regulasi terkait sound horeg. Ia menegaskan bahwa warga Kota Blitar masih merasa nyaman dan tidak terganggu, meskipun fatwa haram dari MUI Jawa Timur telah dikeluarkan pada Minggu (13/7/2025). Ia pun menyatakan bahwa pemerintah sangat menghormati fatwa tersebut dan akan terus memantau dinamika di masyarakat. Padahal, dari sudut pandang kesehatan dan kenyamanan publik, keberadaan sound berkapasitas tinggi yang mencapai 120 dB hingga 135 dB—melebihi batas aman maksimal 85 dB—memiliki potensi menimbulkan gangguan serius.
Fenomena sound horeg selama ini memang menjadi polemik di berbagai daerah, terutama karena pengaruhnya terhadap ketertiban umum dan kesehatan masyarakat. Fatwa haram dari MUI Jawa Timur pun menguatkan kekhawatiran tersebut, dengan menyatakan bahwa penggunaan teknologi sound secara berlebihan dapat mengganggu kenyamanan, mengancam kesehatan, bahkan merusak fasilitas umum. Ahli THT pun dilibatkan dalam pertimbangan ini, menegaskan bahwa tingkat kekerasan suara dari sound horeg jauh di atas batas aman. Namun, pemerintah daerah tampaknya lebih memilih pendekatan hati-hati, dengan membuka kemungkinan mengeluarkan regulasi jika nantinya keberadaan sound horeg mulai meresahkan masyarakat.
Reaksi dari berbagai pihak pun beragam. Muhammadiyah Trenggalek bahkan menyatakan dukungan terhadap fatwa haram tersebut, sementara pelaku industri hiburan dan penggemar acara karnaval menganggap bahwa regulasi terlalu ketat justru menghambat kreativitas dan hiburan rakyat. Situasi ini menunjukkan bahwa ketegasan pemerintah daerah dalam menyikapi isu ini sangat penting, agar tidak terjadi kekosongan regulasi yang justru menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidaknyamanan masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Wakil Walikota Malang, mereka menunggu instruksi dari Pemprov Jatim terkait kebijakan resmi, sebagai langkah antisipatif.
Kedepannya, polemik sound horeg di Blitar dan sekitarnya menuntut keberanian dan ketegasan dari pemerintah daerah untuk menetapkan regulasi yang jelas dan tegas, demi menjaga ketertiban dan kenyamanan bersama. Sebab, meskipun saat ini situasi masih kondusif, potensi gangguan tetap ada jika tidak diantisipasi secara serius. Apakah pemerintah kota akan segera mengambil langkah konkret, ataukah akan terus mengandalkan pendekatan adaptif dan pemantauan, hanya waktu yang akan membuktikan. Yang pasti, isu ini menunjukkan betapa pentingnya harmonisasi antara kebebasan berekspresi dan perlindungan hak masyarakat atas kenyamanan dan kesehatan.