Tim SAR Berjuang Di Balik Reruntuhan Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo
Tim SAR gabungan terus berupaya menyelamatkan korban dari runtuhnya bangunan empat lantai di Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur. Insiden terjadi pada Senin, 29 September, saat santri sedang melaksanakan salat Ashar. Hingga kini, proses evakuasi masih dilakukan di tengah kondisi yang sulit dan berisiko tinggi.
Qualitas keselamatan dan kesehatan jiwa petugas menjadi prioritas utama dalam situasi yang menegangkan ini. Mereka bekerja di bawah reruntuhan beton seberat belasan ton, dengan setiap langkah yang diambil harus dilakukan dengan kehati-hatian. Reruntuhan yang padat dan struktur bangunan yang rapuh membuat tim harus berjuang antara keberanian dan kewaspadaan.
Tim SAR terdiri dari 375 personel, termasuk relawan sipil, yang harus tetap tenang dan mengikuti perintah komando. Menghadapi tekanan mental sekaligus ekspektasi dari keluarga korban dan masyarakat, mereka berupaya menjaga keseimbangan dalam memberikan informasi yang akurat tentang perkembangan evakuasi.
Melalui fase “golden time” yang berlangsung 72 jam, para petugas mencoba menyelamatkan santri yang mungkin masih hidup di bawah puing-puing. Kepala Subdirektorat Pengarahan dan Pengendalian Operasi Basarnas, Emi Freezer, melaporkan bahwa terdapat santri yang tertimbun di bawah beton yang semakin menekan tubuh mereka, membuat gerakan dan komunikasi menjadi sangat sulit.
Pemeriksaan lapangan menunjukkan bahwa reruntuhan beton menurun secara signifikan, hingga 10-12 sentimeter per hari, mengakibatkan ruang gerak korban semakin terbatas. Kendala lain muncul karena alat berat yang seharusnya digunakan tidak bisa difungsikan, mengingat risiko pergeseran konstruksi yang dapat membahayakan korban maupun tim penyelamat.
Dalam situasi yang menegangkan di bawah sinar lampu redup di posko darurat, keputusan diambil untuk melanjutkan operasi selama 24 jam penuh. Tim dibagi dalam tugas dan jadwal bergantian, dengan fokus pada pemeriksaan stabilitas reruntuhan dan jalur evakuasi yang aman. Semua tindakan ini dilakukan dengan mengandalkan peralatan manual, tanpa menggunakan alat berat.
Dengan mesin bor, sensor, dan alat pemotong portable, tim SAR berhasil membuat terowongan kecil yang memungkinkan mereka menjangkau titik keberadaan korban. Proses ini dilakukan di bawah pengawasan ahli teknik sipil untuk mengurangi risiko yang ada. Dari lubang berdiameter 60 sentimeter yang berhasil dibuat, para petugas berhasil mengevakuasi sejumlah korban secara dramatis.
Tragedi ini menjadi pengingat penting bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk lebih ketat dalam mengawasi pembangunan fasilitas pendidikan, terutama di pesantren yang sering kali mengandalkan dana terbatas. Ketelitian dan gengsi di balik pembangunan gedung yang aman harus menjadi prioritas utama agar insiden serupa tidak terulang di masa depan.
Setiap langkah di bawah reruntuhan membawa harapan dan rasa duka mendalam. Tim SAR terus melanjutkan upaya, berjuang melawan waktu dan risiko, demi menyelamatkan nyawa yang tersisa dari tragedi menyakitkan ini.