Kasus Pelecehan Seksual di Batu Menimpa Siswi, Masyarakat Diminta Waspada
Batu – Kasus pelecehan seksual yang menimpa seorang siswi SMA oleh kerabatnya, SY (57), yang juga berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN), kembali mengguncang masyarakat. Peristiwa yang terjadi sebanyak lima kali sejak tahun 2022 ini telah menimbulkan trauma mendalam bagi korban, yang saat ini membutuhkan pendampingan khusus untuk pemulihan.
Menurut kuasa hukum korban, Rochmat Basuki, siswi tersebut mengalami tekanan psikologis serius setelah serangkaian tindakan buruk yang dilakukan oleh SY. “Korban masih dalam kondisi trauma, namun kami bersyukur ia tetap melanjutkan aktivitas sekolahnya,” ungkap Rochmat saat dikonfirmasi pada Selasa (22/7/2025).
Pascapelaporan ke pihak kepolisian, Rochmat menyebutkan bahwa korban mendapatkan perlakuan diskriminatif dari keluarga besarnya. “Setelah kejadian ini, keluarga besar justru membebani korban dengan permintaan untuk mencabut laporan,” jelasnya. Korban mengalami intimidasi, namun pihaknya bertekad untuk memastikan keselamatan dan perlindungan bagi kliennya, bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3APKB) serta tim trauma healing dari Polres Batu.
Kasat Reskrim Polres Batu, Iptu Joko Suprianto, menekankan bahwa fokus pihaknya saat ini adalah memberikan dukungan psikologis kepada korban. “Kami berkomitmen untuk melindungi dan memberikan bantuan kepada korban serta keluarganya dari tekanan yang mungkin muncul,” imbuh Joko. Ia juga mengakui bahwa kondisi psikis korban menjadi perhatian utama pascapenerimaan laporan.
“Berdasarkan observasi, korban sempat merasakan ketidaknyamanan akibat viralnya kasus ini. Kami sudah berkoordinasi dengan pihak terkait untuk mendukung psikologisnya,” lanjutnya. Dalam konteks sosial yang lebih luas, tindakan pelecehan yang terjadi ini mempertanyakan bagaimana masyarakat seharusnya lebih peka terhadap isu-isu kekerasan berbasis gender dan pentingnya perlindungan bagi anak-anak.
Kasus ini terungkap setelah korban memberanikan diri menceritakan pengalamannya kepada kakaknya. Pada Mei 2025, korban memutuskan untuk merekam tindakan tersangka sebagai bukti, yang kemudian menjadi kunci utama dalam penyelidikan kepolisian. Menurut keterangan korban, pelecehan yang dialaminya meliputi tindakan di area sensitif, termasuk bagian leher dan bibir.
SY kini sudah diamankan oleh pihak kepolisian dan dapat dijerat dengan Pasal 82 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Jika terbukti bersalah, ia menghadapi ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun.
Tindakan ini menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia masih berupaya melindungi korban pelecehan seksual, namun juga mengingatkan kita semua untuk bersikap lebih waspada dan responsif terhadap tindakan yang membahayakan anak-anak di lingkungan sekitar. Kesadaran dan dukungan masyarakat yang lebih luas diperlukan agar korban merasa aman dan memiliki tempat untuk melapor tanpa rasa takut akan stigmatisasi atau tekanan dari pihak lain.
Keberanian korban untuk melapor dan merekam tindakan pelaku dapat menjadi contoh bagi anak-anak lain yang mungkin mengalami situasi serupa. Dalam upaya pencegahan, penting bagi masyarakat untuk mengedukasi diri sendiri dan lingkungan tentang pentingnya perlindungan anak dan respons terhadap kasus kekerasan seksual.