Pemerintah Kabupaten Blitar kembali menunjukkan komitmennya dalam melindungi petani melalui program asuransi sosial yang menyentuh langsung kehidupan rakyat kecil. Dengan memanfaatkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), ribuan petani tembakau, buruh tani, dan buruh pabrik rokok di daerah ini menerima manfaat perlindungan asuransi jiwa dan kecelakaan kerja. Program Aji Tani (Asuransi Jiwa Sedulur Tani) yang digagas bersama BPJS Ketenagakerjaan ini diharapkan mampu menjadi pelindung nyata bagi mereka yang selama ini rentan terhadap risiko kehilangan nyawa dan kecelakaan saat menjalankan aktivitas sehari-hari.
Meskipun terdengar positif, pertanyaan besar tetap menggelayuti: Apakah program ini benar-benar efektif dan mampu menjawab kebutuhan perlindungan petani secara menyeluruh? Hingga pertengahan 2025, tercatat lebih dari 6.000 petani dan buruh tani telah terdaftar sebagai peserta, dan total santunan yang disalurkan sudah mencapai sekitar Rp 1 miliar. Namun, di balik angka dan seremoni penyerahan santunan secara simbolis kepada ahli waris petani yang meninggal dunia, muncul pertanyaan kritis tentang keberlanjutan dan keadilan program ini.
Selain biaya iuran yang terjangkau sebesar Rp 16.800 per bulan, pemerintah menjanjikan seluruh biaya selama sembilan bulan ke depan akan ditanggung penuh melalui anggaran DBHCHT. Namun, apakah jaminan perlindungan ini cukup memadai dalam konteks kebutuhan nyata petani yang menghadapi berbagai risiko di lapangan? Apakah program yang tahun lalu hanya menjangkau sekitar 5.000 orang dan berperiode perlindungan enam bulan, kini mampu memberi perlindungan yang benar-benar menyeluruh dan berkelanjutan?
Sejumlah pengamat dan petani sendiri menilai, meski langkah ini patut diapresiasi, harus ada upaya lebih besar agar program perlindungan sosial ini tidak menjadi sekadar formalitas di atas kertas. Penambahan durasi perlindungan hingga satu tahun penuh dan peningkatan anggaran yang signifikan menunjukkan niat pemerintah memperbaiki kualitas perlindungan. Akan tetapi, jika tidak didukung dengan evaluasi dan pengawasan yang ketat, risiko program ini hanya menjadi bentuk pencitraan politik semata.
Di tengah tantangan ekonomi dan ketidakpastian masa depan pertanian, keberpihakan pemerintah dalam bentuk program perlindungan sosial ini harus mampu menjawab kebutuhan riil, bukan sekadar angka dan seremoni. Masyarakat petani tentu berharap, keberhasilan program Aji Tani tidak berhenti di angka-angka, melainkan mampu memberikan rasa aman dan keadilan yang nyata bagi mereka yang selama ini menjadi ujung tombak perekonomian nasional.