Indonesia Wajib Beli 50 Pesawat Boeing 777 dari AS: Harga Per Unit dan Dampaknya
Jakarta, CNN Indonesia – Keputusan pemerintah Indonesia untuk membeli 50 unit pesawat Boeing, mayoritas adalah model Boeing 777, menuai banyak pertanyaan. Tidak hanya soal angka yang fantastis, tetapi juga mengenai manfaat dan risiko dari langkah ini, terutama di tengah dinamika ekonomi dan geopolitik yang kian kompleks. Presiden AS Donald Trump mengklaim bahwa kesepakatan ini menjadi salah satu syarat utama dalam upaya relaksasi tarif impor produk Indonesia dari Amerika Serikat. Sungguh, sebuah langkah yang memaksa kita untuk menimbang kembali strategi besar dalam pengembangan industri penerbangan nasional.
Dalam sebuah unggahan di platform Truth Social, Trump menyebut bahwa Indonesia harus membeli produk Amerika senilai US$15 miliar, termasuk 50 pesawat Boeing yang sebagian besar adalah Boeing 777. Ia menegaskan bahwa ini adalah bagian dari kesepakatan perdagangan yang telah dinegosiasikan kedua negara. Meski demikian, harga satu unit Boeing 777 yang dikutip dari EMAirplane mencapai US$330 juta atau sekitar Rp5,37 triliun (dengan kurs US$1=Rp16.289). Angka ini tentu saja menimbulkan pertanyaan besar: apakah Indonesia mampu dan perlu mengeluarkan dana sebesar itu untuk satu pesawat?
Harga resmi tersebut, tentu saja, bukan angka pasti yang harus dibayar oleh maskapai penerbangan maupun pemerintah. Sebagaimana diketahui, pesanan dalam jumlah besar biasanya mendapatkan diskon signifikan. Pada 2018, misalnya, Emirates memesan 40 unit Boeing 777X dengan nilai kontrak sekitar US$16 miliar, tetapi harga per pesawat yang sebenarnya diperkirakan jauh lebih rendah, yakni sekitar US$350 juta setelah diskon. Untuk pesawat bekas, harganya bisa jauh lebih murah, berkisar antara US$70-90 juta, tergantung usia dan kondisi mesin serta interiornya. Namun, tetap saja, investasi ini bukan perkara kecil, apalagi jika dikaitkan dengan kebutuhan infrastruktur dan operasional yang harus disiapkan.
Kebijakan pemerintah yang mewajibkan pembelian ini menimbulkan pertanyaan besar tentang keberlanjutan ekonomi dan keberpihakan industri penerbangan nasional. Apakah langkah ini benar-benar menguntungkan bangsa Indonesia? Ataukah sekadar mengikuti kehendak politik dan ekonomi global yang memaksa kita harus menelan biaya mahal demi kepentingan pihak tertentu? Memang, Boeing 777 dikenal sebagai salah satu pesawat komersial terpopuler, berkat desainnya yang inovatif dan kemampuan jarak jauh yang mumpuni. Namun, apakah investasi sebanyak itu sepadan dengan manfaat yang akan didapat, terutama di tengah tantangan industri penerbangan yang sedang melemah akibat pandemi dan ketidakpastian ekonomi global?
Lebih dari sekadar angka, langkah ini harus dipertimbangkan secara matang dari aspek strategi nasional. Apakah Indonesia mampu memanfaatkan pesawat-pesawat ini secara optimal? Bagaimana dampaknya terhadap industri penerbangan dalam negeri dan potensi pengembangan industri komponen dalam negeri? Sejauh ini, keputusan ini menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, dan menjadi ujian besar bagi kebijakan ekonomi dan pertahanan industri nasional di masa mendatang.**