Jakarta – Dalam reshuffle kabinet yang mengejutkan, Presiden Prabowo Subianto mencopot Sri Mulyani Indrawati dan menggantinya dengan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan. Namun, siapa sebenarnya sosok yang dipercaya mengelola keuangan negara ini? Dan mengapa penunjukannya menuai pertanyaan kritis?
Bayang-bayang Luhut di Balik Penunjukan
Purbaya Yudhi Sadewa bukanlah nama baru di lingkaran kekuasaan. Selama bertahun-tahun, pria kelahiran Bogor 61 tahun ini dikenal sebagai “orang dekat” Luhut Binsar Pandjaitan. Jejak kariernya hampir selalu bersinggungan dengan Menko Maritim yang berpengaruh itu.
“Dia terbilang tangan kanan Luhut Pandjaitan,” ungkap sumber di lingkaran pemerintahan yang enggan disebutkan namanya. Kedekatan ini terlihat jelas dari perjalanan karier Purbaya yang selalu “mengikuti” Luhut dari satu kementerian ke kementerian lain.
Ketika Luhut menjadi Kepala Staf Kepresidenan, Purbaya dipercaya sebagai deputinya. Saat Luhut pindah ke Kemenko Polhukam, Purbaya ikut sebagai Staf Khusus. Begitu Luhut memimpin Kemenko Maritim, Purbaya kembali mengikuti sebagai deputi.
Pola ini menimbulkan pertanyaan: apakah penunjukan Purbaya sebagai Menkeu merupakan upaya Luhut untuk memperluas pengaruhnya di sektor keuangan?
Warisan Beracun dari Sri Mulyani
Purbaya mewarisi tumpukan masalah dari Sri Mulyani yang kini menjadi bom waktu. Yang paling kontroversial adalah kebijakan PPN 12% yang mulai berlaku 2025 dan telah memicu gelombang protes masyarakat.
“Kebijakan PPN 12% ini seperti bom waktu yang siap meledak. Rakyat sudah menjerit, daya beli anjlok, tapi pemerintah tetap ngotot,” kritik Bhima Yudhistira dari Center of Economic and Law Studies (Celios).
Celios bahkan menyebut pencopatan Sri Mulyani sebagai “berita positif” karena tuntutan untuk mengganti Menkeu sudah lama diserukan berbagai organisasi think-tank sebagai bentuk kritik atas “ketidakmampuan” Sri Mulyani dalam mendorong kebijakan pro-rakyat.
Rekam Jejak yang Dipertanyakan
Meski memiliki gelar doktor ekonomi dari Purdue University, track record Purbaya di sektor publik masih menyisakan tanda tanya. Selama menjabat di berbagai posisi strategis, tidak ada terobosan kebijakan yang benar-benar membekas atau memberikan dampak signifikan bagi perekonomian nasional.
Di LPS, meski Purbaya kerap tampil optimis soal ketahanan ekonomi Indonesia, kritikus mempertanyakan substansi kepemimpinannya. “Dia lebih banyak bicara daripada aksi nyata,” ujar seorang ekonom senior yang enggan disebutkan namanya.
Yang lebih mengkhawatirkan, Purbaya belum pernah langsung menangani kebijakan fiskal skala nasional. Pengalaman terdekatnya hanya sebagai Ketua LPS yang fokusnya terbatas pada penjaminan simpanan.
Tantangan yang Menumpuk
Purbaya kini menghadapi tantangan berlapis yang diwariskan Sri Mulyani:
Utang yang Membengkak: Rasio utang pemerintah terus meningkat dengan beban bunga yang semakin mencekik. Purbaya dituntut melakukan restrukturisasi utang yang selama ini diabaikan.
Ketimpangan Fiskal: Kebijakan insentif fiskal yang bias kepada korporasi besar telah memperburuk ketimpangan. UMKM terus terpinggirkan sementara konglomerat meraup keuntungan berlipat.
Konflik Kepentingan: Masalah rangkap jabatan pejabat Kemenkeu di BUMN yang bertentangan dengan putusan MK masih belum diselesaikan.
Krisis Kepercayaan: Yang paling krusial, Kemenkeu kehilangan kepercayaan publik akibat kebijakan-kebijakan yang dianggap anti-rakyat.
Pertanyaan Kritis yang Belum Terjawab
Penunjukan Purbaya menimbulkan sejumlah pertanyaan mendasar:
- Apakah ini strategi Luhut untuk menguasai sektor keuangan? Dengan “anak buah”nya di Kemenkeu, Luhut berpotensi memiliki kontrol penuh atas kebijakan fiskal.
- Siapkah Purbaya menghadapi tekanan politik? Berbeda dengan Sri Mulyani yang memiliki reputasi internasional, Purbaya masih harus membuktikan kredibilitasnya.
- Akankah ada perubahan signifikan? Atau justru status quo akan tetap terjaga dengan wajah yang berbeda?
Ekspektasi vs Realitas
Celios telah menyiapkan “PR” untuk Purbaya: menurunkan PPN menjadi 8%, menaikkan PTKP menjadi Rp 7 juta, menerapkan pajak kekayaan 2% untuk orang super kaya, dan mengevaluasi seluruh insentif fiskal yang merugikan negara.
“Ini bukan wishlist, tapi kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan ekonomi rakyat,” tegas Bhima.
Namun, apakah Purbaya berani melawan kepentingan elite yang selama ini diuntungkan kebijakan Sri Mulyani? Atau ia hanya akan menjadi “boneka” yang menjalankan agenda kelompok tertentu?
Ujian Sesungguhnya
Honeymoon period Purbaya tidak akan lama. Rakyat yang sudah terlanjur kecewa dengan kebijakan ekonomi pemerintah akan segera menilai kinerjanya. Pasar juga akan mengawasi setiap gerak-geriknya.
Yang pasti, Purbaya tidak bisa lagi bersembunyi di balik optimisme kosong. Ia harus membuktikan bahwa penunjukannya bukan sekadar permainan politik, melainkan langkah serius untuk memperbaiki nasib ekonomi Indonesia.
Pertanyaan besarnya: apakah Purbaya Yudhi Sadewa akan menjadi Menteri Keuangan yang benar-benar independen, atau sekadar perpanjangan tangan Luhut Pandjaitan di sektor keuangan? Waktu akan menjawabnya. Yang jelas, rakyat Indonesia tidak akan sabar menunggu terlalu lama.
Purbaya Yudhi Sadewa kini memegang kendali keuangan negara di tengah krisis kepercayaan publik. Apakah ia mampu keluar dari bayang-bayang Luhut dan membuktikan kemandirian politiknya? Atau justru menjadi alat untuk melanggengkan status quo yang merugikan rakyat?