Pemberian Amnesti dan Abolisi Menjadi Sorotan, Apakah Ini Menghianati Masyarakat?
Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengejutkan publik dengan pemberian amnesti kepada Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, dan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong. Keputusan ini muncul di tengah kondisi sosial yang menuntut ketegasan dalam penegakan hukum, terutama terkait kasus korupsi.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengonfirmasi bahwa semua fraksi di DPR telah menyetujui usulan pemerintah tersebut. Menurutnya, surat Presiden dengan nomor R43/pres/072025 menyetujui abolisi untuk Lembong, sementara surat kedua, nomor 42/pres/072025, menyangkut amnesti bagi Hasto, yang terkena vonis 3,5 tahun penjara terkait kasus suap.
Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, menyatakan bahwa keputusan ini bertujuan untuk menciptakan persatuan menjelang peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia. “Kita ingin menjalin persatuan dalam rangka perayaan 17 Agustus,” ungkapnya.
Namun, keputusan ini memicu kritik tajam dari pegiat antikorupsi. Lembaga IM57+ Institute menilai pemberian amnesti dan abolisi ini sebagai bentuk pengabaian hukum yang serius. Ketua IM57+, Lakso Anindito, mengatakan bahwa upaya ini dapat memengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia. “Ini bisa menjadi preseden buruk dan mengkhianati komitmen pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Penghentian proses hukum terhadap para terdakwa korupsi ditanggapi dengan beragam reaksi, terutama dari masyarakat yang mengharapkan transparansi dan keadilan. Masyarakat merasa bahwa keputusan ini berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap institusi hukum yang ada. “Kami ingin adanya keadilan, bukan pengampunan untuk para koruptor,” kata salah seorang warga Jakarta yang enggan disebutkan namanya.
Hal ini semakin diperparah dengan fakta bahwa Harun Masiku, tersangka dalam kasus suap lain yang melibatkan Hasto, hingga kini masih buron. Situasi ini menambah ketidakpuasan masyarakat yang merasa pemerintah tidak serius dalam memberantas praktik korupsi.
Dengan adanya amnesti dan abolisi, penyelesaian kasus korupsi kini tampak semakin mudah dihindari melalui kesepakatan politik. Ini menciptakan ketidakpastian di kalangan masyarakat, terutama bagi mereka yang menjadi korban dari kebijakan korupsi. “Jika korupsi dapat diselesaikan hanya melalui negosiasi politik, maka ke depan politisi akan semakin berani untuk melakukannya,” tambah Lakso.
Kritik terhadap keputusan ini tidak hanya datang dari pegiat antikorupsi, tetapi juga dari masyarakat yang cemas akan masa depan penegakan hukum. Banyak yang khawatir bahwa langkah ini akan menyurutkan semangat untuk melawan praktik korupsi yang merugikan rakyat.
Penting bagi masyarakat untuk bersikap kritis dan menuntut transparansi serta akuntabilitas dari pemerintah. Keputusan amnesti dan abolisi terkait kasus-kasus serius ini harus menjadi momen refleksi bagi seluruh elemen masyarakat untuk menuntut sistem hukum yang lebih baik.
Dengan berbagai kontroversi yang menyertai keputusan ini, masyarakat diharapkan tetap mengawasi setiap tindakan pemerintah. Dalam konteks ini, suara rakyat menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa nilai-nilai keadilan terus terjaga di negeri ini.