Nasional

Perjanjian Data RI-AS Harus Sesuai UU Perlindungan Data Pribadi

Avatar photo
4
×

Perjanjian Data RI-AS Harus Sesuai UU Perlindungan Data Pribadi

Sebarkan artikel ini

Perlindungan Data Pribadi di Era Perjanjian Dagang: Tantangan untuk Kedaulatan Digital Indonesia

Dalam perjanjian dagang terbaru antara Indonesia dan Amerika Serikat, isu transfer data pribadi menjadi sorotan utama. Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sukamta mengingatkan bahwa seluruh mekanisme transfer data ini harus mematuhi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Ini menjadi penting untuk melindungi hak-hak warga negara, di tengah arus deras globalisasi dan perdagangan digital.

Pasal 56 UU PDP menyatakan bahwa setiap pengendali data di Indonesia dapat melakukan transfer data pribadi ke luar negeri, namun harus memastikan bahwa negara tujuan memiliki standar perlindungan yang setara atau lebih tinggi. “Setiap transfer data ke AS harus memenuhi syarat perlindungan hukum timbal balik, termasuk hak audit bagi otoritas Indonesia,” jelas Sukamta. Hal ini menegaskan bahwa meskipun ada peluang ekonomi yang ditawarkan oleh perjanjian ini, keamanan data pribadi warga negara harus tetap menjadi prioritas utama.

Dalam negosiasi ini, Indonesia diharapkan bisa mengamankan kedaulatan digital dan memastikan bahwa data pribadi penduduk tidak hanya menjadi komoditas dalam perdagangan. Sukamta menekankan, penting bagi tim negosiator untuk memahami konteks ini dan merundingkan proteksi yang memadai. “Tim negosiator kita harus bertindak bijak dalam menjaga kedaulatan data, karena ini bukan sekadar isu perdagangan, melainkan terkait dengan keamanan nasional dan keadilan ekonomi,” tambahnya.

Masyarakat Indonesia perlu menyadari bahwa perjanjian dagang ini berimplikasi langsung pada hak-hak digital mereka. Ketidakpastian tentang perlindungan data di AS, terutama mengingat bahwa negara tersebut belum memiliki undang-undang perlindungan data setara dengan GDPR di Eropa, meningkatkan kekhawatiran tentang keamanan data pribadi. Jika tidak ada jaminan yang kuat, semua data yang ditransfer dapat berisiko disalahgunakan.

Sukamta juga mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan regulasi lanjutan dari UU PDP, termasuk pembentukan lembaga pendukung, yang seharusnya sudah rampung pada Oktober 2024. Keterlambatan ini menciptakan celah yang dapat dimanfaatkan dalam perdagangan digital, yang pada gilirannya bisa merugikan masyarakat.

Lebih lanjut, perjanjian ini bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk membangun kerangka hukum yang kokoh. Dengan adanya pengakuan AS sebagai negara dengan perlindungan data yang memadai, Indonesia perlu memastikan bahwa hak-hak pribadi warga negara tetap terjaga di tengah pertukaran data lintas batas ini.

Dalam konteks sosial-politik, masyarakat Indonesia harus aktif dalam menuntut transparansi di setiap tahap negosiasi ini. Dukungan publik untuk perlindungan data pribadi yang kuat akan menjadi katalisator bagi pengambil keputusan untuk lebih berhati-hati dalam menyetujui kebijakan yang berpotensi merugikan.

Kesimpulannya, isu transfer data dalam perjanjian dagang ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi lebih kepada perlindungan hak asasi individu dan kedaulatan digital Indonesia. Masyarakat berhak terlindungi, dan pemerintah harus memastikan bahwa setiap kesepakatan yang dibuat memenuhi standar perlindungan yang ketat. Dengan demikian, Indonesia dapat melangkah maju dalam era digital tanpa mengorbankan hak-hak warganya.