Nasional

Pakar UGM: Transparansi Dana Parpol Harus Ditingkatkan dengan Audit Sosial

Avatar photo
4
×

Pakar UGM: Transparansi Dana Parpol Harus Ditingkatkan dengan Audit Sosial

Sebarkan artikel ini

Peningkatan Dana Partai Politik: Masyarakat Harus Diawasi dan Diuntungkan

Yogyakarta – Rencana pemerintah dan DPR RI untuk meningkatkan dana bantuan keuangan bagi partai politik (parpol) dari Rp1.000 menjadi Rp3.000 per suara menuai perhatian serius dari berbagai kalangan. Pakar politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Alfath Bagus Panuntun, menekankan bahwa langkah ini harus disertai dengan mekanisme audit sosial yang memungkinkan publik untuk mengawasi penggunaan dana tersebut.

Alfath menyatakan, “Laporan penggunaan dana parpol harus dipublikasikan di website resmi mereka agar rakyat tahu ke mana uang negara digunakan.” Pernyataan ini menunjukkan pentingnya transparansi dalam penggunaan dana publik, yang berasal dari uang rakyat. Dengan informasi ini, masyarakat diharapkan bisa lebih aktif dalam memantau keberadaan dan pemanfaatan dana yang seharusnya mendukung fungsi parpol dalam menjalankan tugasnya.

Berdasarkan data dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kontribusi negara terhadap biaya operasional parpol saat ini hanya sekitar 1,5 persen. Kondisi ini mengakibatkan parpol sangat bergantung pada dana dari pendiri atau oligarki, yang membuka peluang untuk praktik politik transaksional yang dapat mengaburkan tujuan pelayanan publik. Arah kebijakan yang lebih baik perlu diambil agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan agar parpol berfungsi sebagaimana mestinya—memberi pelayanan kepada masyarakat.

Alfath juga menggarisbawahi bahwa peningkatan dana seharusnya diimbangi dengan pengurangan budget serta hak istimewa bagi pejabat publik. Penekanan pada rekrutmen kader yang berorientasi pada motivasi untuk melayani masyarakat dan etika publik pun dianggap sangat penting. Langkah ini dalam konteks memperbaiki cara parpol beroperasi di masyarakat menjadi kuncinya.

Selama ini, pelaporan keuangan parpol seringkali dinyatakan “wajar tanpa pemeriksaan,” yang menunjukkan lemahnya sistem pengawasan yang ada. Alfath merekomendasikan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) membentuk forum tahunan yang transparan, di mana parpol diwajibkan mempresentasikan laporan penggunaan dana di hadapan publik, termasuk organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan jurnalis. Dengan langkah ini, diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap parpol dapat diperbaiki.

Selain masalah pengawasan, Alfath juga menekankan pentingnya memiliki indikator keberhasilan dalam alokasi dana pendidikan politik. Salah satu indikator tersebut adalah meningkatnya kualitas perdebatan publik, baik di ranah nyata maupun maya. Jika isu-isu publik dapat dibahas secara kritis, maka edukasi politik dianggap berhasil.

Revisi terhadap Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik serta perbaikan manajemen internal partai juga menjadi catatan penting. Dana yang lebih besar tanpa sistem pengelolaan yang baik akan berisiko memperburuk praktik korupsi politik. “Tanpa sistem yang sehat, dana besar justru berpotensi memperburuk praktik korupsi,” tegasnya.

Implikasi dari rencana ini bagi masyarakat sangat signifikan. Dengan adanya peningkatan dana yang transparan dan akuntabel, diharapkan parpol dapat lebih berkontribusi dalam pelayanan publik. Namun, semua hal ini bergantung pada hegemoni pengawasan yang kuat oleh publik. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya jadi penonton, tetapi juga bisa berperan aktif dalam mengawasi dan memengaruhi kebijakan politik yang ada.