Sejumlah pakar energi menegaskan bahwa kekhawatiran stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta terkait kandungan etanol dalam bahan bakar minyak (BBM) dasar PT Pertamina (Persero) tidak memiliki dasar yang kuat secara teknis. Hal ini diungkapkan oleh Prof. Tri Yuswidjajanto, Guru Besar Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB), yang menjelaskan bahwa penggunaan etanol dalam BBM bukanlah hal yang baru, bahkan sudah diterapkan di berbagai negara.
Menurut Tri, di Amerika Serikat, bensin yang dicampur etanol mencapai 10 persen, sementara di Brasil bahkan ada yang mencapai 85 persen. Sementara itu, kadar etanol dalam BBM Pertamina hanya 3,5 persen. “Penggunaan etanol ini tidak berpengaruh signifikan terhadap mesin kendaraan. Dampak penurunan daya baru akan terasa jika kandungan etanol mencapai 2 persen atau lebih,” ujarnya di Jakarta.
Lebih lanjut, Tri menjelaskan bahwa kandungan energi etanol berkisar antara 26,8-29,7 megajoule per kilogram, lebih rendah dibandingkan bensin yang mencapai 40 megajoule per kilogram. Namun, untuk campuran etanol 3,5 persen, penurunan daya yang terjadi hanya sekitar 1 persen. “Dengan demikian, performa kendaraan tetap optimal dan konsumsi bahan bakar tidak akan meningkat,” jelasnya.
Sikap penolakan SPBU swasta terhadap BBM dasar Pertamina, menurut Tri, terkesan berlebihan dan lebih merupakan upaya untuk menekan pemerintah agar mengeluarkan kuota impor. Senada dengan itu, Muhammad Rifqi Dwi Septian, dosen program studi Rekayasa Minyak dan Gas Institut Teknologi Sumatera (Itera), juga menilai kekhawatiran tentang kerusakan mesin kendaraan akibat etanol sangat berlebihan. Dia menilai, selama produksi etanol memenuhi standar dan sistem penyimpanan terjaga baik, risikonya akan sangat kecil.
Rifqi menambahkan, penggunaan etanol justru memberikan dampak positif terhadap kualitas udara. “Etanol memiliki kandungan oksigen yang tinggi yang membuat pembakaran lebih sempurna dan mengurangi emisi karbon monoksida serta hidrokarbon tidak terbakar. Ini berarti lebih ramah lingkungan,” katanya.
Sebelumnya, pada 1 Oktober 2025, Wakil Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Achmad Muchtasyar, mengungkapkan bahwa sejumlah SPBU swasta membatalkan pembelian BBM dasar karena adanya kandungan etanol. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat mengenai kebijakan penggunaan etanol dalam BBM.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Eniya Listiani Dewi, menyatakan bahwa kendaraan di Indonesia sudah kompatibel dengan kandungan etanol dalam BBM hingga 20 persen. Namun, saat ini Indonesia masih menerapkan campuran etanol maksimum 5 persen. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan ketersediaan bahan baku etanol dalam negeri, seperti jagung dan tebu. “Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, berkomitmen untuk tidak mengimpor bahan baku etanol. Oleh karena itu, pengembangan etanol dalam BBM masih terkendala,” ujarnya.
Keputusan untuk tetap mempertahankan kandungan etanol pada level 5 persen ini diharapkan dapat menjamin ketersediaan bahan bakar yang berkualitas sekaligus berkontribusi positif terhadap lingkungan.