Masyarakat Thailand, meskipun mayoritas beragama Buddha, tercatat pernah dipimpin oleh seorang jenderal muslim. Jenderal Sonthi Boonyaratglin, lahir pada 2 Oktober 1946, mencuri perhatian publik bukan hanya karena latar belakangnya, tetapi juga oleh perannya dalam sejarah politik Thailand. Ia dikenal sebagai figur kunci dalam kudeta militer yang menggulingkan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra pada 19 September 2006.
Sebagai muslim pertama yang mengisi posisi tinggi dalam Angkatan Bersenjata Thailand, Sonthi memiliki peran yang unik dan strategis dalam pengambilan keputusan di negara tersebut. Ia adalah lulusan Akademi Militer Chulachomklao dan sempat memimpin Komando Perang Khusus, yang merupakan salah satu unit elite dengan keahlian dalam menghadapi ancaman gerilya. Prestasi dan latar belakangnya menunjukkan keragaman dalam kepemimpinan Thailand yang jarang terungkap.
Ketika konflik di Thailand selatan semakin memanas, Jenderal Sonthi menjalin komunikasi dengan organisasi masyarakat Islam di Indonesia, seperti PBNU yang diwakili oleh KH Hasyim Muzadi. Pertemuan ini dilakukan pada 24 Agustus 2007, dengan tujuan mencari solusi damai atas ketegangan yang ada. Keterlibatan ini menunjukkan upaya Jenderal Sonthi untuk merangkul berbagai elemen masyarakat demi terciptanya kedamaian di Thailand.
Di samping karir militernya, Sonthi juga mencatatkan momen bersejarah saat menunaikan ibadah haji di Makkah pada 2007, berbaur dengan jutaan jamaah dari seluruh dunia. Ini menjadi simbol keterhubungan umat Islam di tingkat global, sekaligus refleksi spiritual yang mendalam bagi seorang pemimpin.
Setelah pensiun, Jenderal Sonthi mendirikan Partai Matubhum pada tahun 2009, yang berfokus pada stabilitas politik dan rekonsiliasi di Thailand. “Saya memutuskan memimpin partai ini karena kebijakan-kebijakannya yang netral dan negeri kita sangat terbelah. Tujuan partai ini adalah membuat negeri kita damai,” ujarnya saat peluncuran partai tersebut. Dengan mayoritas anggota berasal dari politisi muslim di provinsi selatan, partai ini diharapkan dapat menjembatani hubungan antarkelompok yang berbeda.
Kehadiran Jenderal Sonthi sebagai seorang pemimpin muslim di tengah dominasi religius Buddha di Thailand mengajak masyarakat untuk merenungkan pentingnya keberagaman dalam kepemimpinan. Hal ini menyiratkan bahwa toleransi dan saling menghormati antarumat beragama adalah kunci untuk membangun masyarakat yang harmonis. Di Indonesia, situasi serupa bisa menjadi pelajaran berharga di tengah dinamika sosial yang beragam.
Berita tentang Jenderal Sonthi harus dilihat sebagai cerminan dari harapan dan tantangan yang dihadapi masyarakat, khususnya bagi mereka yang mendambakan perdamaian dalam perbedaan. Momen-momen seperti ini membuka peluang bagi diskusi tentang peran pemimpin dalam masyarakat yang multikultural, serta potensi untuk menciptakan perubahan yang positif melalui kolaborasi antarelite politik dan kelompok masyarakat. Ini menjadi penting, karena dalam konteks Indonesia yang memiliki keragaman serupa, pengalaman Jenderal Sonthi dapat menjadi inspirasi bagi generasi mendatang dalam memperjuangkan keadilan dan saling pengertian.