Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Republik Indonesia mengkonfirmasi bahwa pihaknya terus memantau keberadaan Satria Arta Kumbara, mantan anggota Marinir TNI Angkatan Laut yang saat ini terlibat sebagai tentara relawan di Rusia. Juru Bicara Kemlu, Rolliansyah “Roy” Soemirat, menjelaskan bahwa Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Moskow aktif menjalin komunikasi dengan Satria. Penantian masyarakat Indonesia terkait status Satria pun semakin meningkat, terutama terkait dampak dari keputusannya berbagi nasib dengan militer Rusia.
Sementara itu, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut, Laksamana Pertama TNI Tunggul, menegaskan bahwa Satria bukan lagi bagian dari institusi TNI. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, yang menyatakan bahwa Satria telah kehilangan status sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) setelah bergabung dengan operasi militer di luar negeri. Keputusan ini tentunya menjadi sorotan tajam di masyarakat, di tengah ketidakpastian mengenai hak-hak WNI yang terlibat dalam konflik di luar negeri.
Kontroversi semakin memanas ketika sebuah video viral menunjukkan Satria meminta kembali status kewarganegaraannya. Dalam video tersebut, ia menyatakan ketidaktahuan akan konsekuensi dari tindakan menandatangani kontrak dengan Kementerian Pertahanan Rusia, yang berujung pada pencabutan kewarganegaraannya. Ia juga mengungkapkan keinginannya untuk kembali ke pangkuan Indonesia, meminta pertolongan dari Menteri Luar Negeri, Wakil Presiden, dan Menteri Pertahanan untuk memulihkan statusnya sebagai WNI.
Reaksi publik terhadap situasi ini cukup beragam. Di satu sisi, banyak warga yang merasa prihatin dan mempertanyakan integritas Satria yang memilih bergabung dengan militer asing. Di sisi lain, beberapa berpendapat bahwa ada sisi kemanusiaan yang perlu dipertimbangkan, terutama bagi Satria yang tampaknya kini berada dalam posisi terjepit. Masyarakat berharap agar pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap masalah ini, agar tidak ada lagi mantan prajurit yang merasa tersisih setelah mengambil keputusan yang berisiko.
Kondisi ini juga terkait dengan konteks sosial-politik Indonesia saat ini, di mana potensi masalah kewarganegaraan akibat keterlibatan dalam militer asing dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin mengubah narasi tentang cinta tanah air. Masyarakat diharapkan bisa mengambil pembelajaran dari kasus Satria dan menyadari pentingnya memahami konsekuensi dari tindakan yang diambil, terlebih yang berpotensi merusak status kewarganegaraan.
Hingga saat ini, pemerintah Indonesia masih berusaha mencari solusi yang menyeimbangkan antara prinsip kedaulatan negara dan hak asasi individu. Situasi ini menjadi pelajaran berharga bagi generasi muda, supaya lebih bijaksana dalam memahami makna kecintaan terhadap negara. Nasib Satria Arta Kumbara tentunya akan menjadi perhatian, tidak hanya bagi keluarganya, tetapi juga bagi seluruh masyarakat yang khawatir akan kompleksitas masalah kewarganegaraan di era globalisasi ini.