Nasional

Keaslian Ijazah Jokowi Kembali Dipertanyakan, UGM Tegaskan Keabsahan Dokumen

Avatar photo
10
×

Keaslian Ijazah Jokowi Kembali Dipertanyakan, UGM Tegaskan Keabsahan Dokumen

Sebarkan artikel ini
Ijazah jokowi 1

Yogyakarta – Polemik mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo kembali menjadi sorotan publik. Isu yang sempat mereda kini mencuat kembali melalui pernyataan kontroversial yang dilontarkan oleh Prof. Dr. Sofyan Effendi, mantan rektor Universitas Gadjah Mada (UGM). Meski belakangan ia mencabut pernyataan tersebut dan meminta maaf secara terbuka, perdebatan yang muncul telah memantik gelombang baru spekulasi dan analisis politik di ruang publik.

UGM sebagai institusi akademik tempat Jokowi menyelesaikan pendidikan strata satu di Fakultas Kehutanan, kembali menegaskan bahwa dokumen ijazah Presiden sah dan dikeluarkan sesuai prosedur akademik yang berlaku. Klarifikasi resmi datang dari Rektor UGM saat ini, Prof. Dr. Ova Emilia, yang menyatakan bahwa data akademik Jokowi lengkap, terdokumentasi, dan telah melalui proses administrasi yang standar.

“Semua berkas termasuk ijazah dan transkrip nilai ada dalam arsip kami. Tidak ada kejanggalan,” ungkap Ova Emilia dalam konferensi pers di kampus UGM. Ia juga menunjukkan bukti fisik dan salinan dokumen dari masa kuliah Jokowi sebagai penguatan. Pernyataan ini sekaligus membantah teori-teori yang mempertanyakan keaslian font yang digunakan, proses pencetakan, hingga bentuk lembar pengesahan ijazah.

Senada dengan itu, Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Dr. Sigit Sunarta, menegaskan bahwa penggunaan font Times New Roman telah digunakan secara luas sejak akhir 1980-an di lingkungan kampus. Menurutnya, mesin ketik elektronik dan komputer pribadi mulai diakses oleh mahasiswa pada masa itu. “Tidak ada yang ganjil dari ijazah Pak Jokowi. Proses pencetakan, bentuk sampul, dan legalitas dokumen semuanya sesuai dengan standar masa itu,” ujar Sigit dalam pernyataan resminya.

Isu ini menjadi lebih sensitif setelah Prof. Sofyan Effendi, dalam wawancara beberapa waktu lalu, menyatakan adanya ketidaksesuaian dalam ijazah Presiden. Namun, melalui surat tertanggal 17 Juli 2025, ia menyampaikan permintaan maaf kepada publik dan menarik semua pernyataannya. Ia meminta agar wawancara tersebut tidak lagi disebarluaskan dan menegaskan bahwa pandangan sebelumnya tidak lagi berlaku.

“Saya menyadari bahwa pernyataan saya dapat menimbulkan kebingungan dan ketegangan di tengah masyarakat. Saya berharap isu ini dihentikan demi menjaga iklim akademik dan kehormatan institusi,” tulisnya dalam pernyataan tertulis yang telah diverifikasi keasliannya oleh pihak UGM.

Di sisi lain, sejumlah pengamat politik menilai isu ini tak lepas dari dinamika kekuasaan. Dugaan motif politik mengemuka, terutama menjelang tahun-tahun krusial transisi kepemimpinan nasional. Tuduhan mengenai keaslian dokumen akademik dianggap sebagai cara halus untuk mendeligitimasi figur politik yang tengah berpengaruh. “Ini semacam bentuk baru kampanye negatif yang memanfaatkan ranah akademik sebagai medan pertarungan simbolik,” ujar pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Agus Hermanto.

Isu ini juga mencuatkan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan tinggi. Jika tuduhan-tuduhan semacam ini dibiarkan berkembang tanpa klarifikasi dan verifikasi yang tepat, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan pada integritas sistem pendidikan nasional. Selain itu, penyebaran informasi yang tidak terbukti dapat berujung pada tindakan hukum, terutama jika dianggap mencemarkan nama baik atau menyebarkan berita bohong.

Pakar hukum dari Universitas Indonesia, Dr. Mariana Kartasasmita, menjelaskan bahwa siapa pun yang menyebarluaskan tuduhan palsu terkait dokumen resmi bisa dikenai pasal pencemaran nama baik, terutama jika telah menimbulkan kerugian moral atau sosial bagi pihak yang dituduh. “Ada batas yang jelas antara kritik dan fitnah. Begitu data yang disebarkan tidak dapat diverifikasi dan menyesatkan publik, maka bisa berujung pada proses hukum,” ujarnya.

Sementara itu, UGM menyatakan akan memperkuat sistem keamanan dokumen akademik dan mempermudah layanan verifikasi publik untuk menghindari polemik serupa. Masyarakat juga diimbau untuk memanfaatkan saluran resmi bila ingin mengetahui keabsahan suatu dokumen pendidikan.

Polemik ini menjadi pengingat penting bagi semua pihak, terutama di era informasi digital yang cepat dan mudah menyebar. Klarifikasi berbasis data dan bukti harus dikedepankan ketimbang asumsi dan kecurigaan semata. Transparansi menjadi kunci utama dalam menjaga kepercayaan terhadap institusi pendidikan dan pemimpin publik.

Hingga berita ini diturunkan, tidak ada bukti sahih yang menunjukkan ketidakaslian ijazah Presiden Joko Widodo. Seluruh klarifikasi dari Universitas Gadjah Mada dan para pemangku kepentingan telah disampaikan secara terbuka dan dapat diverifikasi. Masyarakat diimbau untuk bijak menyikapi informasi dan tidak mudah terpengaruh oleh narasi yang belum diuji kebenarannya.