Kasus Bullying di SMPN 3 Doko: Tantangan Pendidikan Karakter yang Harus Dihadapi Bersama
Surabaya – Kasus bullying massal yang terjadi di SMP Negeri 3 Doko, Kabupaten Blitar, mengisyaratkan adanya masalah mendalam dalam pendidikan karakter anak di Indonesia. Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur (Jatim), Warsono, menyebut insiden ini sebagai dampak dari kurangnya transformasi pemikiran terkait perlindungan hak anak dalam konteks pendidikan.
Warsono menegaskan, setiap anak berhak dilindungi dari segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun verbal. Ia mengingatkan, hak tersebut kini diatur dalam undang-undang yang harus dihormati oleh semua pihak. “Perundungan bukanlah hal yang sepele. Kita perlu menyadari bahwa ejekan dan perlakuan yang dulu dianggap biasa seperti ‘Si Bagong’ kini bisa berujung pada bullying,” ungkapnya pada konferensi pers pada Senin (21/7/2025).
Perubahan pandangan masyarakat terhadap kekerasan tidak bisa terjadi secara mendadak. Menurut Warsono, pendidikan dan sosialisasi yang berkesinambungan sangat diperlukan untuk mengubah cara berpikir dan perilaku. “Transformasi ini merupakan tanggung jawab bersama antara sekolah dan lingkungan sosial, termasuk keluarga,” lanjutnya.
Warsono juga menggarisbawahi bahwa tanggung jawab pendidikan karakter tidak dapat sepenuhnya dibebankan kepada sekolah. Sekolah berperan penting, namun lingkungan keluarga dan masyarakat juga memiliki andil besar dalam pembentukan karakter anak. “Sekolah tentu tidak bisa bekerja sendiri. Karakter dibangun melalui pengamatan dan pengalaman yang diperoleh anak di rumah dan lingkungan sekitar,” tambahnya dengan merujuk pada filosofi Ki Hajar Dewantara yang menekankan pentingnya proses belajar melalui ‘nonton, niteni, dan niru’.
Kasus bullying di SMPN 3 Doko terjadi saat kegiatan kerja bakti pada Jumat (18/7/2025), di mana seorang siswa kelas 7 menjadi korban pemukulan oleh 18 temannya. Aksi kekerasan yang sempat direkam dan viral di media sosial tersebut menggambarkan betapa pentingnya perhatian dari semua pihak untuk mencegah insiden serupa.
Kapolres Blitar, AKBP Arif Fazlurrahman, menegaskan bahwa walaupun korban tidak mengalami luka fisik serius, dampak psikologis yang ditimbulkan tetap harus diperhatikan. “Kami telah memeriksa 18 pelaku. Pihak sekolah diminta untuk lebih peka terhadap kejadian di lingkungan yang minim pengawasan,” ujarnya.
Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar berupaya menyelesaikan masalah ini melalui mediasi dengan orang tua korban dan pihak sekolah. Kesepakatan untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan diharapkan dapat mencegah ketegangan lebih lanjut. Beberapa pelaku akan menjalani pembinaan agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Insiden ini menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat Indonesia, khususnya dalam memahami dan menangani kekerasan di kalangan anak-anak. Warsono mengajak semua pihak untuk bersama-sama memahami definisi bullying secara mendalam dan tidak menyepelekan bentuk kekerasan verbal yang sering kali memiliki dampak psikologis yang tidak terlihat. “Ini adalah tantangan bagi kita semua,” tutupnya.
Permasalahan ini tidak hanya menggarisbawahi perlunya pendidikan karakter yang lebih baik, tetapi juga menuntut masyarakat untuk lebih proaktif dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak. Dengan kolaborasi dari semua elemen, diharapkan generasi mendatang bisa tumbuh tanpa kekerasan dan lebih memahami nilai-nilai kemanusiaan.