empat aktivis Italia Dideportasi Setelah Pembajakan Kapal Bantuan di Solo Sumud Flotilla Oleh Israel
Jakarta, CNN Indonesia – Israel baru-baru ini melakukan deportasi terhadap empat aktivis asal Italia yang terlibat dalam armada Global Sumud Flotilla (GSF) setelah kapal mereka dibajak oleh angkatan laut Israel. Kejadian ini menambah ketegangan atas upaya internasional untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza yang sedang terblokade.
Menurut pernyataan Kementerian Luar Negeri Israel, keempat aktivis tersebut merupakan bagian dari ratusan aktivis GSF yang saat ini sedang dalam proses deportasi setelah ditangkap di perairan Gaza. Sekitar 460 aktivis lainnya sedang ditahan oleh pihak berwenang Israel, dan saat ini menjalani pemeriksaan ketat di fasilitas penahanan.
Per 3 Oktober 2023, Israel telah membajak semua kapal GSF yang berlayar menuju Gaza. Kapal terakhir yang disita adalah Marinette, yang berada pada jarak 75 kilometer dari pesisir barat Gaza. GSF adalah gerakan internasional yang bertujuan mengirim bantuan kemanusiaan ke wilayah Gaza, Palestina, yang telah mengalami blokade panjang oleh Israel. Inisiatif ini dimulai sejak 31 Agustus dengan melibatkan sekitar 40 kapal sipil serta sejumlah tokoh terkenal, termasuk aktivis iklim Greta Thunberg.
Sebagai informasi, pelayaran GSF tidak hanya dilewati oleh aktivis, tetapi juga melibatkan jurnalis dan tenaga kesehatan. Namun, perjalanan ini mengalami beberapa kali serangan, yang oleh GSF disebut sebagai tindakan agresi yang dilakukan oleh pihak Israel. Serangan tersebut terjadi saat armada berlayar di perairan Yunani dan saat berlabuh di Tunisia.
Pada Rabu (1/10), angkatan laut Israel menghentikan dan membajak puluhan kapal GSF yang mendekati perairan Gaza, dengan lebih dari 400 aktivis yang ditangkap dan dibawa ke Israel. Di antara mereka yang ditangkap adalah Greta Thunberg. Direktur organisasi hak asasi manusia dan pusat bantuan hukum Adalah, Suhad Bishara, menyatakan bahwa mereka sedang menunggu kedatangan para aktivis yang ditahan di pelabuhan Ashdod, yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Jalur Gaza.
Bishara menjelaskan bahwa setelah armada tiba di pelabuhan, para aktivis akan diidentifikasi sebelum dipindahkan ke otoritas imigrasi untuk menjalani proses deportasi selanjutnya. Selama menunggu pemulangan, para relawan kemungkinan besar akan ditahan di Penjara Ketziot, yang dikenal sebagai penjara dengan tingkat keamanan tinggi. Penjara ini biasanya tidak digunakan untuk menahan pelanggar imigrasi, namun dalam kasus ini, dianggap memudahkan Israel dalam memfasilitasi logistik selama penahanan berlangsung.
Situasi ini mencerminkan ketegangan yang terus meningkat di kawasan, serta tantangan yang dihadapi oleh kelompok-kelompok yang berupaya memberikan bantuan kemanusiaan. Reaksi internasional atas tindakan Israel dalam membajak armada GSF, yang berisi bantuan vital bagi rakyat Gaza, telah disampaikan oleh berbagai pihak, dan memunculkan berbagai kecaman terhadap kebijakan blokade yang diterapkan di kawasan tersebut.
Langkah-langkah yang diambil oleh Israel dalam menanggapi armada bantuan ini menunjukkan kebijakan yang ketat terhadap setiap upaya pengiriman bantuan ke Gaza, meskipun secara global banyak pihak menuntut akses humaniter yang lebih terbuka bagi rakyat Palestina yang membutuhkan.