Internasional

Inggris Rilis Nota Kesepahaman dengan Palestina, Tegaskan Dukungan untuk Solusi Dua Negara

Avatar photo
4
×

Inggris Rilis Nota Kesepahaman dengan Palestina, Tegaskan Dukungan untuk Solusi Dua Negara

Sebarkan artikel ini

Inggris Tegaskan Dukungan terhadap Solusi Dua Negara dalam Nota Kesepahaman dengan Otoritas Palestina

Pemerintah Inggris baru saja mengumumkan nota kesepahaman baru dengan Otoritas Palestina, yang secara resmi menegaskan komitmen London terhadap Solusi Dua Negara berdasarkan garis perbatasan tahun 1967. Dalam dokumen tersebut, Inggris juga tidak mengakui pendudukan ilegal oleh pihak Zionis atas wilayah Palestina, termasuk Yerusalem Timur.

Pengumuman ini datang menjelang Sidang Majelis Umum PBB yang dijadwalkan pada bulan September mendatang, di mana Inggris berencana untuk mengakui secara resmi negara Palestina. Dalam isi nota kesepahaman, pemerintah Inggris menegaskan bahwa Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur dan Jalur Gaza, “harus disatukan kembali di bawah satu otoritas tunggal.” Selain itu, Otoritas Palestina diharapkan memainkan peran sentral dalam pengelolaan wilayah Gaza, termasuk dalam hal keamanan dan pemulihan pasca-konflik.

Sebelumnya, Inggris telah mengeluarkan pernyataan untuk mengakhiri kekuasaan Hamas di Gaza, yang menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam kebijakan Inggris terhadap Israel. Pada bulan Juni, negara ini menjatuhkan sanksi kepada dua anggota kabinet Israel, yaitu Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, terkait tindakan mereka yang dinilai menghasut kekerasan terhadap komunitas Palestina.

Ketegangan antara Inggris dan Israel semakin meningkat setelah parlemen Israel meloloskan mosi yang mendorong pencaplokan Tepi Barat pada bulan Juli. Beberapa hari setelah itu, laporan menyebutkan bahwa Israel berencana melakukan “pendudukan penuh terhadap Jalur Gaza,” dengan penekanan pada perluasan operasi militer dalam wilayah tersebut.

Nota kesepahaman yang baru dirilis itu menekankan perlunya penyelenggaraan pemilu umum yang inklusif di Tepi Barat dan Gaza dalam waktu dekat. Inggris juga menegaskan kembali hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib mereka sendiri, termasuk hak untuk memiliki negara yang merdeka.

Lebih jauh, Inggris secara implisit menolak usulan dari Amerika Serikat mengenai pengambilalihan Gaza oleh pihak ketiga, serta menegaskan dukungannya terhadap rencana pemulihan dan rekonstruksi Gaza yang dipegang oleh Palestina. Dalam konteks ini, langkah Inggris dan Prancis—yang juga telah menyatakan komitmen serupa pada bulan Juli—akan menjadikan keduanya sebagai negara G7 pertama yang secara resmi mengakui kemerdekaan Palestina, jika tidak ada perubahan drastis dalam kebijakan diplomatik.

Menanggapi langkah ini, Kantor Perdana Menteri Israel mengeluarkan pernyataan melalui media sosial X, yang menyebut tindakan Inggris sebagai memberikan “hadiah atas terorisme biadab Hamas.” Pernyataan itu melanjutkan dengan peringatan bahwa “sebuah negara jihad di perbatasan Israel hari ini akan mengancam Inggris besok.”

Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kini menjadi buronan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di Den Haag, yang menyelidiki dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk penggunaan kelaparan sebagai senjata perang di Gaza.

Langkah Inggris ini mencerminkan perubahan signifikan dalam pendekatan diplomatik terhadap konflik Israel-Palestina, dan dapat memiliki dampak luas terhadap stabilitas di kawasan tersebut.