Dewan Keamanan PBB dan Hak Veto: Kontribusi dan Kontroversi
Jakarta, CNN Indonesia – Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) memiliki lima anggota tetap yang menguasai hak veto, yang sering menjadi penghalang dalam mencapai resolusi. Hak veto adalah privilese yang memungkinkan negara-negara ini untuk mencegah atau membatalkan keputusan resmi PBB, dan merupakan aspek penting dari kebijakan internasional.
Lima negara yang memiliki hak veto tersebut adalah Amerika Serikat, Prancis, Rusia, China, dan Inggris. Kelima negara ini mendapatkan hak veto karena peran mereka sebagai pemenang dalam Perang Dunia II, yang menjadikan mereka anggota tetap DK PBB. Menurut piagam PBB, mereka memiliki tanggung jawab besar dalam pemeliharaan keamanan dan perdamaian dunia.
Dari kelima anggota, China tercatat sebagai negara yang paling jarang menggunakan hak vetonya. Sejak resmi menjadi anggota tetap pada tahun 1971, Beijing hanya menggunakan hak vetonya sebanyak 14 kali hingga 2019. Penggunaan pertama hak veto oleh China terjadi pada 13 Desember 1955, ketika negara tersebut menghalangi masuknya Mongolia ke PBB.
Prancis juga dikenal sebagai negara yang bijaksana dalam memanfaatkan hak veto. Pada masa pemerintahan Presiden Jacques Chirac, Prancis menghadapi dilema dalam penggunaan hak veto terkait konflik di Irak. Dalam situasi tersebut, keputusan untuk menggunakan atau tidak hak veto berpotensi mempengaruhi kekuatan negosiasi Prancis di DK PBB. The New York Times mencatat bahwa veto Prancis bisa menimbulkan kerugian yang signifikan bagi lembaga internasional ini.
Di sisi lain, Inggris jarang menggunakan hak vetonya setelah berakhirnya Perang Dingin. Hal ini menunjukkan sikap hati-hati dari negara tersebut dalam menangani isu-isu internasional, meskipun kekuatan dan pengaruhnya dalam DK PBB tetap signifikan.
Rusia, yang juga merupakan anggota tetap DK PBB, diketahui lebih aktif dalam menggunakan hak veto, terutama pada masa-masa awal pembentukan PBB. Mantan Menteri Luar Negeri Rusia, Andrey Gromyko, dijuluki “Mr. Nyet” karena kerap mengajukan veto, sementara eks Menlu Vyacheslav Molotov mendapat julukan “Mr. Veto”. Namun, setelah runtuhnya Uni Soviet, frekuensi penggunaan hak veto Rusia menurun. Pada abad ke-21, Rusia kembali menggunakan hak veto untuk menanggapi resolusi yang berkaitan dengan konflik militer, seperti di Georgia, Suriah, dan Ukraina.
Amerika Serikat, berbeda dengan negara-negara lainnya, cenderung lebih sering menggunakan hak vetonya, khususnya terkait dengan isu-isu yang berkaitan dengan Israel. Penggunaan hak veto oleh AS sering kali menuai kritik, dengan banyak pihak berargumen bahwa hak ini lebih sering digunakan untuk kepentingan politik daripada untuk tujuan perdamaian yang lebih luas.
Kritik terhadap hak veto mencerminkan kompleksitas dinamika politik global, di mana keputusan yang diambil dapat memiliki dampak signifikan bagi stabilitas internasional. Penggunaan hak veto oleh negara-negara anggota tetap DK PBB menunjukkan interaksi antara kekuasaan dan tanggung jawab dalam menjaga perdamaian dunia.
Secara keseluruhan, hak veto memunculkan pertanyaan mendasar mengenai efektivitas dan legitimasi keputusan PBB. Terlepas dari kepentingan politik yang ada, tantangan untuk mencapai konsensus di DK PBB tetap menjadi isu yang perlu dihadapi demi menciptakan keamanan dan perdamaian global yang lebih baik.