Kasus Pemalakan di Surabaya Berlanjut, Toko Melaporkan ke Polisi
Surabaya – Kasus pemalakan yang diduga melibatkan tiga wanita di sebuah toko bernama Pods Authentic, Jalan Gemblongan, Surabaya, terus berlanjut. Pemilik toko, Kevin Wiliam (22), mengambil langkah tegas dengan melaporkan kejadian tersebut ke pihak kepolisian pada 7 Agustus 2025, kurang dari satu jam setelah insiden berlangsung.
Kevin melaporkan bahwa ketiga wanita tersebut mengaku sebagai perwakilan dari RT/RW setempat, meminta sumbangan untuk perayaan Agustusan. “Mereka meminta sumbangan sebesar Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta. Saat saya menawarkan sumbangan sebesar Rp 5-10 ribu, mereka menolak,” jelas Kevin saat ditemui di tokonya pada Senin (11/8/2025).
Insiden yang kemudian viral di media sosial ini menjadi sorotan publik. Menurut Kevin, pihak kepolisian ditunjuk untuk menjaga ketertiban, terutama karena kejadian itu disertai ancaman. “Saya sempat mengalami tindakan rasisme dari mereka saat saya menolak memberikan sumbangan,” tambahnya. Kevin menyebutkan, setelah menolak, ia digedor mobilnya, dan satu dari wanita tersebut melontarkan kata-kata menghina.
Sebelumnya, Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji, telah berupaya memediasi masalah ini. Meski dua dari tiga wanita sepakat untuk berdamai, Kevin merasa penanganan yang dilakukan tidak sepenuhnya memuaskan. “Damai ya, tapi tentu ada kekerasan hati. Banyak warga sekitar yang memihak kepada mereka, dan pandangan netizen pun sangat beragam. Jadi, saya merasa ini belum sepenuhnya selesai,” ungkap Kevin.
Kasus ini menyoroti isu besar mengenai pungutan liar yang kerap terjadi, terutama menjelang perayaan-perayaan tertentu. Di tengah perjuangan masyarakat untuk menjalani kehidupan sehari-hari yang penuh tantangan, adanya praktik seperti ini mencerminkan perlunya edukasi dan penegakan hukum yang lebih ketat.
Warga Kelurahan Alun-alun Contong pun memberikan tanggapan beragam. Sebagian menganggap perilaku para wanita itu sudah keterlaluan, sementara yang lain merasa bahwa kehadiran mereka sebagai perwakilan masyarakat harus dihormati. Hal ini menciptakan diskusi panas di antara warga yang bersangkutan.
Situasi ini menunjukkan bahwa praktik pungutan liar kerap kali menyentuh sisi sensitif masyarakat. Bagi Kevin, tantangan ini tidak hanya mempengaruhi reputasinya, tetapi juga memberikan dampak negatif terhadap hubungan dengan masyarakat sekitar. “Saya berharap kejadian ini menjadi pelajaran dan membuat masyarakat lebih berani menolak tindakan semacam ini,” imbuhnya.
Proses hukum dari laporan Kevin akan menjadi perhatian banyak pihak, terutama dalam memastikan keadilan dan memberi contoh tindakan tegas terhadap praktik pungutan liar di Indonesia. Apakah pihak kepolisian akan cukup responsif dalam menangani kasus ini masih menjadi pertanyaan.
Sementara itu, di media sosial, netizen ramai mendiskusikan insiden tersebut, dengan banyak yang mencela tindakan pemalakan sekaligus mengingatkan pentingnya pendidikan akan kewarganegaraan dan hak-hak individu. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai kritis terhadap tindakan yang dianggap melanggar norma dan etika.
Dalam konteks lebih luas, kasus ini perlu dijadikan momentum bagi pemerintah dan masyarakat untuk bersinergi agar tidak ada lagi ruang bagi pemalakan dan pungutan liar di lingkungan mereka.