Internasional

Drone Otonom di Langit Ukraina – Antara Keunggulan Teknologi dan Ancaman Global

Avatar photo
4
×

Drone Otonom di Langit Ukraina – Antara Keunggulan Teknologi dan Ancaman Global

Sebarkan artikel ini

Di langit Ukraina yang diliputi asap dan bayang-bayang kehancuran, sebuah bentuk baru dari peperangan telah lahir: peperangan yang dipandu oleh kecerdasan buatan. Drone otonom, kendaraan udara tak berawak yang tidak lagi membutuhkan tangan manusia untuk mengarahkan, kini menjelma menjadi aktor penting dalam konflik bersenjata modern, khususnya dalam eskalasi berkepanjangan antara Rusia dan Ukraina. Bukan sekadar alat bantu militer, drone-drone ini adalah manifestasi dari lompatan teknologi yang menempatkan keputusan hidup dan mati pada logika algoritma.

Para koresponden lapangan dan pengamat militer di Kyiv melaporkan peningkatan tajam penggunaan drone-drone otonom oleh militer Rusia sejak kuartal akhir tahun lalu. Di medan Donetsk dan Luhansk, saksi mata menyebut langit malam kerap dipenuhi suara samar mesin kecil yang tidak berbentuk pesawat atau rudal konvensional. Salah satu jenis yang paling sering disebut adalah MS001, sebuah drone serbaguna yang bisa mengudara hingga delapan jam dan membawa beban lebih dari 50 kilogram. Kecepatan terbangnya mencapai 180 kilometer per jam—cukup untuk menjangkau target dan kembali tanpa jejak.

Menurut informasi yang dihimpun dari berbagai sumber intelijen NATO dan laporan think tank Center for Strategic and International Studies (CSIS), MS001 dan model lanjutannya, V2U, menggunakan chipset Nvidia Jetson Orin dan NX, produk kelas industri yang sebenarnya bukan untuk militer. Chip ini memungkinkan pemrosesan data sensor secara real-time. Lebih mengejutkan lagi, banyak komponen drone ini ternyata berasal dari negara-negara Barat dan Asia, mulai dari sensor buatan Sony, mikroprosesor STMicroelectronics dari Irlandia, hingga antena dari produsen Jerman. Semua dirakit dalam skema lintas negara yang kerap lolos dari embargo perdagangan.

Drone-drone tersebut dilengkapi teknologi SLAM (Simultaneous Localization and Mapping), yang membuatnya mampu membuat peta medan baru sambil bergerak. Kamera termal FLIR Boson Plus memberikan penglihatan malam dalam radius dua kilometer. Di lapangan, drone-drone ini tidak sekadar alat pengintai, melainkan pelaksana misi penghancuran. Sistem komunikasi berbasis LoRa dan 5G memperbolehkan 20 drone bergerak sebagai satu unit yang terkoordinasi, menjalankan pola serangan seperti gerombolan lebah.

Namun setiap teknologi, sekompleks apa pun, membawa risiko kegagalan. Drone otonom tidak lagi menunggu perintah operator untuk menyerang. Mereka hanya butuh parameter target, dan selebihnya diputuskan oleh algoritma. Ini menciptakan ketegangan etis dan hukum yang belum terjawab. Apabila sebuah drone salah mendeteksi sekolah sebagai gudang senjata, siapa yang bertanggung jawab? Apakah pembuat algoritma, pemasok perangkat keras, atau negara yang mengoperasikan?

Di sisi lain, Ukraina tidak tinggal diam. Pemerintah Ukraina mengembangkan strategi defensif berbasis peperangan elektronik. Salah satu andalan mereka adalah sistem jamming ANALQ250 buatan Amerika Serikat yang dapat mengganggu komunikasi drone dalam radius puluhan kilometer. Selain itu, Ukraina mengembangkan drone pencegat seperti Wilhor Horonet yang mampu melacak dan mengintersepsi drone musuh di ketinggian lebih dari 10.000 meter. Ada pula KamikJ AN196, drone kamikaze dengan jangkauan hingga 800 kilometer dan kapasitas hulu ledak 20 kilogram, dirancang untuk menghantam pusat kendali dan logistik militer Rusia.

Tak bisa disangkal, kedua pihak terlibat dalam perlombaan senyap memperebutkan jalur pasok teknologi global. Meski Rusia berada di bawah embargo, laporan dari lembaga investigatif Conflict Armament Research menunjukkan bahwa banyak komponen elektronik ditemukan dalam bangkai drone Rusia yang berasal dari Kanada, Jepang, Swiss, dan bahkan Taiwan. Banyak dari komponen ini masuk melalui pasar gelap dan negara-negara perantara. Ukraina sendiri tak lepas dari jejaring ini, meski sebagian besar teknologinya kini dibantu oleh mitra-mitra dari NATO.

Dampak dari peperangan berbasis drone ini tak hanya kasatmata di medan tempur. Pusat-pusat pengungsian di Zaporizhzhia dan Kharkiv melaporkan kecemasan warga yang meningkat karena serangan udara kini datang tanpa suara jet tempur atau sirene peringatan. Drone-dronenya kecil, nyaris tak terdengar, dan tiba-tiba meledak. “Ketakutannya bukan hanya pada ledakan, tetapi karena kami bahkan tidak tahu dari mana datangnya,” ujar Olena, relawan medis yang ditemui di perbatasan selatan Dnipro.

Aspek lain yang perlu dicermati adalah implikasi jangka panjang terhadap tatanan hukum perang internasional. Konvensi Jenewa tidak mengenal istilah drone otonom. Tidak ada klausul yang menjelaskan siapa yang bertanggung jawab ketika keputusan menyerang dibuat oleh mesin. Komunitas internasional, termasuk PBB, baru memulai pembahasan untuk menyusun protokol pengendalian senjata otonom, namun kesepakatan global masih jauh dari tercapai. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Rusia tampak enggan membatasi potensi yang mereka pandang strategis ini.

Sementara itu, analis keamanan siber menyatakan bahwa sistem drone yang terhubung ke jaringan komunikasi luas sangat rentan terhadap peretasan. Jika jaringan drone disusupi, satu komando bisa membelokkan seluruh armada menuju target yang keliru. Hal ini sempat terjadi dalam uji coba internal NATO di Lituania pada 2023, ketika sistem otonom gagal mengklasifikasikan target dan hampir menghantam kendaraan sipil. Dalam simulasi perang, satu kesalahan klasifikasi dapat menciptakan tragedi nyata.

Upaya merespons fenomena ini tidak bisa dilakukan setengah hati. Beberapa negara mulai mendirikan divisi militer baru yang khusus menangani teknologi drone, baik dari sisi ofensif maupun defensif. Israel, misalnya, telah melatih unit-unit khusus yang fokus pada deteksi dan penghancuran drone otonom. Korea Selatan mengembangkan sistem radar frekuensi rendah yang bisa mengidentifikasi drone sekecil kotak makan siang. Di Indonesia sendiri, pembicaraan tentang drone masih terbatas pada wacana teknologi, belum menyentuh dimensi etika dan politik global yang lebih luas.

Dalam lanskap geopolitik yang kian rapuh, drone otonom menciptakan medan perang yang tidak mengenal jeda. Mereka tidak lapar, tidak lelah, dan tidak ragu. Tapi justru karena itu, mereka mempercepat denyut konflik hingga ke titik yang tak lagi manusiawi. Perang menjadi lebih sunyi, tetapi juga lebih mematikan.

Dan dunia? Dunia masih mencari cara untuk mengejar kecanggihan ini dengan kebijakan yang sepadan. Sementara itu, langit Ukraina tetap ramai. Bukan oleh burung-burung yang pulang sarang, melainkan oleh drone-drone yang menentukan hidup dan mati dengan kecepatan algoritma.