Disnaker Kabupaten Blitar Gagal Tingkatkan Kualitas SDM Melalui Pelatihan Elektronika yang Kurang Efektif
Blitar – Upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pelatihan kejuruan tampaknya belum menunjukkan hasil yang signifikan. Baru saja diselenggarakan pelatihan pemeliharaan dan perbaikan elektronika rumah tangga yang digelar oleh Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Blitar, namun sejumlah pihak mempertanyakan efektivitas dan keberlanjutan program ini.
Pelatihan yang berlangsung pada 7-22 Juli 2025 di sebuah kafe di Kabupaten Blitar ini diikuti oleh 20 peserta yang sebagian besar berasal dari keluarga petani tembakau dan masyarakat umum hasil seleksi dari 58 pendaftar. Program ini didanai dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) dan diselenggarakan oleh Balai Latihan Kerja (BLK) Sound Electric Blitar serta lembaga sertifikasi LSP Elektronika dari Surabaya. Meskipun terdengar menjanjikan, banyak pihak menilai bahwa pelatihan ini masih jauh dari kata efektif dalam menciptakan tenaga kerja kompeten yang mampu bersaing di pasar kerja.
Plt. Kepala Disnaker Kabupaten Blitar, Nanang Adi Putranto, mengklaim bahwa pelatihan ini adalah bagian dari upaya strategis pemerintah daerah untuk menciptakan SDM unggul dan siap bersaing, termasuk dalam rangka menyambut Indonesia Emas 2045. Ia juga menegaskan bahwa program ini akan memberikan sertifikat kompetensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), yang diharapkan dapat membuka peluang kerja maupun usaha bagi peserta. Sayangnya, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak peserta hanya mendapatkan pelatihan selama 14 hari, yang dinilai minim untuk benar-benar menguasai keahlian yang dibutuhkan.
Selain itu, pengakuan sertifikasi dari BNSP yang bersifat nasional dan regional ASEAN tidak serta merta menjamin keberhasilan peserta dalam mendapatkan pekerjaan. Banyak yang meragukan apakah pelatihan singkat ini mampu menghasilkan tenaga kerja yang benar-benar terampil dan mandiri, mengingat tantangan nyata di lapangan yang membutuhkan pengalaman dan latihan berkelanjutan.
Lebih jauh, kritik juga diarahkan ke soal keberlanjutan program ini. Setelah pelatihan dan uji kompetensi selesai, peserta hanya mendapatkan waktu magang selama lima hari. Tidak ada jaminan bahwa mereka akan langsung mendapatkan pekerjaan atau mampu membuka usaha sendiri. Ini menimbulkan pertanyaan besar: sejauh mana program ini mampu mengatasi permasalahan pengangguran dan ketertinggalan kompetensi tenaga kerja di Kabupaten Blitar?
Kendati diharapkan mampu meningkatkan daya saing daerah, pelaksanaan pelatihan ini menunjukkan bahwa kebijakan pelatihan berbasis sertifikasi masih sebatas seremonial dan belum mampu menjawab kebutuhan nyata pasar kerja. Pemerintah daerah harus lebih serius dan inovatif dalam merancang program pengembangan SDM yang tidak sekadar formalitas, melainkan mampu menghasilkan tenaga kerja yang benar-benar kompeten dan berdaya saing tinggi.
Dengan berbagai kekurangan yang ada, dibutuhkan evaluasi menyeluruh agar program pelatihan ini tidak hanya menjadi kegiatan seremonial belaka, tetapi benar-benar memberikan manfaat nyata bagi masyarakat dan pembangunan daerah. Jangan sampai anggaran besar yang dikeluarkan hanya berujung pada sertifikat kosong dan harapan yang tidak terwujud. Pemerintah harus mampu mengintegrasikan pelatihan ini dengan kebutuhan riil di lapangan serta memastikan keberlanjutan dan keberhasilannya.