Internasional

Dari 32 ke 19: Negosiasi yang Menguji Ketahanan

Avatar photo
14
×

Dari 32 ke 19: Negosiasi yang Menguji Ketahanan

Sebarkan artikel ini
6cb133b0 6191 11f0 8d3c 95c47f3704a3.jpg

Perdagangan internasional telah menjadi ruang tafsir baru bagi dinamika kekuasaan, bukan sekadar arus barang lintas negara. Dalam arena ini, tarif ekspor dan impor tak lagi berdiri sebagai angka-angka teknokratis, melainkan sebagai wacana politik luar negeri yang penuh kepentingan. Baru-baru ini, Indonesia berhasil menurunkan tarif ekspornya ke Amerika Serikat dari 32% menjadi 19%. Angka ini tentu tak berdiri sendiri. Ia lahir dari manuver diplomasi yang ditata dalam sunyi, penuh pertimbangan strategis, dan dalam banyak hal, sangat politis.

Pergeseran ini mencerminkan bahwa posisi tawar Indonesia tengah beranjak. Namun untuk memahami artinya, perlu dibaca secara lebih luas: bagaimana kebijakan hilirisasi yang sedang digalakkan, bagaimana konstelasi regional memengaruhi ruang gerak kita, dan bagaimana negara-negara seperti Vietnam dan Arab Saudi bermain dengan logika yang berbeda namun tak kalah efektif.

Indonesia tengah memantapkan diri dalam kebijakan hilirisasi sumber daya alam. Ini bukan sekadar strategi ekonomi, melainkan pernyataan politik bahwa Indonesia tidak lagi ingin berdiri di hilir rantai pasok global sebagai penyedia bahan mentah semata. Batu bara, tembaga, nikel, hingga minyak sawit—selama ini menjadi komoditas ekspor utama—kini diarahkan untuk diolah terlebih dahulu sebelum dijual keluar negeri. Secara struktural, ini adalah usaha membentuk kedaulatan ekonomi. Namun bagi negara mitra dagang, kebijakan ini bisa dianggap sebagai bentuk proteksionisme baru.

Reaksi negara-negara seperti Amerika Serikat mencerminkan gesekan itu. Ketika pasokan bahan mentah tiba-tiba dibatasi oleh kebijakan dalam negeri, pihak-pihak yang selama ini diuntungkan dari kelimpahan itu merespons dengan instrumen ekonomi yang tampak netral, namun sesungguhnya sarat tekanan. Tarif dinaikkan, jalur dagang diperketat, dan negosiasi dilakukan dengan bahasa isyarat geopolitik.

Namun diplomasi perdagangan bukan pertarungan dalam ruang kosong. Setiap manuver membutuhkan kapasitas aktor. Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia bergerak cepat. Setelah AS mengumumkan kebijakan tarif baru, tim negosiasi langsung dikirim. Ini bukan hanya respons teknis, melainkan simbol dari kesadaran strategis bahwa Indonesia tidak ingin menjadi objek dalam percaturan global. Presiden dan kementerian terkait tampak menyadari bahwa dalam era ketidakpastian ini, diplomasi bukan hanya soal protokol, tetapi juga narasi.

Vietnam adalah contoh negara yang menggunakan pendekatan berbeda. Mereka mengedepankan reformasi struktural dalam birokrasi, memperketat regulasi ekspor, dan menutup celah penyelundupan seperti praktik transhipment yang selama ini merugikan AS. Dalam waktu bersamaan, mereka juga memperluas proyek-proyek ekonomi simbolik yang menyenangkan mitra dagang utama. Dalam kunjungan-kunjungan diplomatiknya, Vietnam menawarkan lahan strategis, menjanjikan proyek besar, bahkan memfasilitasi pembangunan properti yang menyasar selera pribadi tokoh-tokoh politik penting. Semua dilakukan dalam kerangka perhitungan rasional, bukan sekadar pencitraan.

Arab Saudi dan beberapa negara Teluk memilih jalan yang lebih eksplisit. Proyek-proyek properti mewah, investasi dalam bidang hiburan dan olahraga, hingga pembangunan gedung-gedung simbolik berlabel nama tokoh-tokoh penting dunia dilakukan sebagai bagian dari strategi memikat simpati dan kepercayaan. Dalam wacana politik global yang makin transaksional, pendekatan ini memiliki efektivitas tersendiri, meskipun tidak bebas dari kritik.

Namun pendekatan-pendekatan tersebut menyisakan pertanyaan etik dan keberlanjutan. Sejauh mana negara harus tunduk pada kepentingan jangka pendek demi memperoleh keringanan tarif? Di titik mana diplomasi berubah menjadi subordinasi? Di sinilah pentingnya merumuskan garis batas antara strategi dan prinsip, antara keluwesan taktis dan komitmen jangka panjang terhadap kemandirian nasional.

Dampak dari kebijakan perdagangan ini juga menyentuh level yang lebih konkret. Dalam kasus Vietnam, harga tanah di sekitar lokasi proyek naik signifikan, menandakan geliat ekonomi yang merembes ke sektor domestik. Di Indonesia, hal serupa mungkin terjadi, tetapi ada juga kekhawatiran yang patut dicermati. Petani kecil dan pelaku industri dalam negeri bisa terpinggirkan jika arus barang impor menjadi terlalu deras akibat tarif yang rendah. Ketika bahan baku impor menjadi murah, produk lokal bisa kehilangan daya saing. Jika ini berlangsung lama tanpa mitigasi, maka ketergantungan terhadap pasar luar justru akan meningkat.

Keanggotaan Indonesia dalam BRICS menambah lapisan kompleks dalam diplomasi ekonomi kita. Di satu sisi, ini membuka peluang jejaring baru di luar dominasi Barat. Di sisi lain, hal ini dapat menimbulkan kecurigaan dari negara-negara seperti Amerika Serikat, yang selama ini memandang Asia Tenggara sebagai kawasan pengaruh strategis. Ketegangan ini menuntut kemampuan manuver yang halus namun tegas, sebab kesalahan langkah bisa membuat kita terperangkap dalam konflik blok yang tidak menguntungkan.

Perlu ada kesadaran penuh bahwa ekspor bahan mentah memang bisa ditekan, tetapi harus dibarengi dengan kesiapan industri hilir. Jika tidak, maka kita akan menghadapi dua kerugian sekaligus: kehilangan pasar bahan mentah dan belum memperoleh nilai tambah dari produk turunan. Artinya, kebijakan hilirisasi harus berjalan seiring dengan pembangunan industri, pelatihan tenaga kerja, serta insentif bagi investor lokal.

Strategi keluar dari tekanan ini bukan sekadar bernegosiasi dengan negara lain, tetapi juga mengatur ulang struktur dalam negeri. Pengusaha harus diberi ruang untuk berinovasi dan memperkuat produksi nasional. Pemerintah perlu menciptakan ekosistem yang menopang industri dari hulu ke hilir. Diversifikasi pasar ekspor menjadi penting, agar kita tidak hanya bergantung pada satu-dua negara mitra. Dalam jangka panjang, kekuatan sebuah negara tidak ditentukan oleh banyaknya kesepakatan dagang, tetapi oleh seberapa dalam ia bisa berdiri di atas kaki sendiri.

Perdagangan bukan soal menang atau kalah. Ia adalah ruang kompleks di mana harga, nilai, dan pengaruh saling bertaut. Indonesia telah menunjukkan kemauan untuk bergerak di luar pola lama, namun jalan ke depan masih panjang dan penuh percabangan. Belajar dari negara lain bukan berarti meniru secara utuh. Yang lebih penting adalah menyusun strategi yang sesuai dengan kondisi, nilai, dan tujuan kita sendiri.

Dalam politik dagang global yang berubah cepat, hanya negara yang lentur dan cerdas yang akan bertahan. Diplomasi ekonomi hari ini bukan hanya soal meja perundingan. Ia juga soal membaca tanda zaman, memahami kepentingan lintas batas, dan merumuskan arah yang membuat kita tidak sekadar berlayar mengikuti angin, melainkan tahu ke mana hendak berlabuh.