Internasional

China Beralih dari Denda ke Subsidi: Upaya Tingkatkan Kelahiran di Tengah Krisis Demografi

Avatar photo
2
×

China Beralih dari Denda ke Subsidi: Upaya Tingkatkan Kelahiran di Tengah Krisis Demografi

Sebarkan artikel ini

Kebijakan Baru China Tanggapi Krisis Demografi dengan Insentif Kelahiran

Pemerintah China, yang dahulu dikenal dengan kebijakan satu anak yang ketat, kini beralih arah dengan menawarkan insentif finansial untuk mendorong warganya memiliki lebih banyak anak. Kebijakan baru ini muncul di tengah kekhawatiran akan krisis demografi yang dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi negara.

Setelah bertahun-tahun mendenda keluarga yang melanggar larangan memiliki lebih dari satu anak, kini Beijing siap menggelontorkan miliaran yuan dalam bentuk subsidi kepada pasangan yang memiliki anak. Subsidi yang ditawarkan mencapai 3.600 yuan (sekitar Rp8 juta) per anak setiap tahun, berfungsi sebagai daya tarik untuk meningkatkan angka kelahiran yang terus menurun. Kebijakan ini mulai berlaku pada 1 Januari 2025, dengan total anggaran yang disiapkan mencapai 90 miliar yuan.

Zane Li, seorang pemuda berusia 25 tahun, mengisahkan pengalaman keluarganya yang pernah dikenakan denda 100 ribu yuan ketika adik perempuannya lahir. Menurutnya, denda tersebut hampir tiga kali lipat dari pendapatan tahunan orang tuanya yang berprofesi sebagai pedagang ikan. “Kami nyaris tidak bisa bertahan hidup,” kenangnya. Saat ini, meskipun ada tawaran subsidi, Li merasa jumlah tersebut tidak sebanding dengan biaya membesarkan anak yang terus meningkat. Ia menilai, “3.600 yuan setahun itu hanya tetesan air di tengah lautan.”

Perubahan di tingkat kebijakan ini menunjukkan usaha pemerintah untuk membalikkan arah dari kebijakan represif yang telah dijalankan selama puluhan tahun. Sebelumnya, paksaan seperti denda hingga aborsi paksa menghadang banyak keluarga yang ingin memiliki lebih dari satu anak. Kini, setelah melihat penurunan tajam angka kelahiran, pemerintah berusaha untuk membangkitkan semangat kewarganegaraan dengan insentif uang tunai.

Namun, para ahli menilai langkah ini mungkin tidak cukup untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Emma Zang, profesor sosiologi dan demografi di Universitas Yale, menyatakan bahwa meskipun langkah ini merupakan sinyal kuat dari pemerintahan, faktor ekonomi yang lebih besar harus diperhatikan. “Kita dapat melihat bagaimana insentif serupa gagal di Jepang dan Korea Selatan,” tuturnya. Menurut studi dari YuWa Population Research Institute, biaya membesarkan anak hingga usia 18 tahun rata-rata mencapai 538 ribu yuan, atau lebih dari enam kali lipat pendapatan per kapita di China. Di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai, biaya tersebut dapat mencapai hingga 1 juta yuan.

Krisis ini juga membawa dampak sosial yang kompleks, terutama bagi generasi muda yang terlahir dan dibesarkan di bawah kebijakan satu anak. Banyak di antara mereka yang berbagi pengalaman pahit di media sosial. Seperti Gao, anak keempat dari lima bersaudara yang terpaksa bersembunyi di rumah neneknya demi menghindari perhatian aparat keluarga berencana. “Saya tidak ingin anak saya tumbuh seperti saya, tanpa peluang naik kelas sosial,”ujarnya tegas.

Masalah gender juga menjadi sorotan dalam diskusi mengenai kebijakan baru ini. Banyak perempuan masih merasa tertekan untuk melahirkan dan mendidik anak, sering kali tanpa dukungan yang memadai. Zhao, seorang perempuan muda, mencatat bahwa tanpa adanya cuti ayah dan fleksibilitas kerja, tantangan untuk menjadi orang tua akan terasa lebih memberatkan. Sementara pemerintah berupaya mendorong perempuan kembali ke peran domestik, generasi muda justru lebih memilih untuk fokus pada karier dan kesetaraan.

Dengan latar belakang perubahan ini, tantangan yang dihadapi oleh pemerintah China jelas sangat kompleks. Kebijakan baru ini, meskipun menunjukkan niat baik untuk merespons masalah demografi, perlu didukung oleh langkah-langkah yang lebih komprehensif untuk benar-benar meningkatkan angka kelahiran di negara tersebut.