Sidoarjo Dihadapkan pada Konflik Antara Bupati dan Wakil Bupati Pasca Korupsi yang Mewarnai Sejarah Kabupaten
Sidoarjo saat ini dihadapkan pada situasi yang memprihatinkan, di mana konflik antara Bupati Subandi dan Wakil Bupati Mimik Idayana mewarnai kondisi politik setelah berpuluh tahun mengalami kasus korupsi yang melibatkan para pemimpin sebelumnya. Situasi ini menimbulkan rasa khawatir di kalangan masyarakat, yang masih terbayang oleh deretan skandal hukum yang pernah menimpa bupati sebelumnya.
Sejarah korupsi di Sidoarjo dimulai dari bupati pertama dalam rentang ini, Win Hendarso, yang menjabat periode 2000-2010. Ia terjerat kasus pencairan uang kas daerah senilai Rp 2,3 miliar, bersama mantan pejabat lainnya. Vonis 5 tahun penjara dijatuhkan kepada Win, yang baru bebas pada 2017. Selanjutnya, Saiful Ilah, yang lebih dikenal sebagai Abah Ipul, juga terjerat hukum pada periode jabatannya, yang berujung pada dua vonis penjara karena kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp 44 miliar.
Bupati saat ini, Ahmad Muhdlor Ali, sempat membawa perubahan positif bagi Sidoarjo dengan proyek infrastruktur yang signifikan. Namun, bahkan ia terjerat dalam masalah hukum yang sama, dengan ditetapkan sebagai tersangka korupsi pemotongan insentif ASN senilai Rp 69,9 juta. Vonis 4 tahun 6 bulan penjara menjadikannya bupati ketiga Sidoarjo yang terlibat kasus hukum.
Kini, setelah pemilihan kepala daerah tahun 2024, Bupati Subandi dan Wakil Bupati Mimik Idayana berpotensi menjadi perhatian publik lagi, bukan karena korupsi, tetapi karena konflik internal mereka. Permasalahan ini mencuat setelah Subandi melakukan mutasi dan rotasi sejumlah aparatur sipil negara (ASN) pada 17 September 2025, di mana Mimik tidak diundang dan merasa diabaikan.
Kekhawatiran Mimik terkait ketidakadilan dalam proses tersebut memperkuat dugaan bahwa konflik ini bukan sekadar masalah administratif. Mimik mengungkapkan rasa kecewa karena tidak terlibat dalam proses penilaian kinerja yang seharusnya dilakukan bersama. Ia menilai bahwa pelantikan tersebut cacat prosedur dan menegaskan ketidakpuasan terhadap sayap kebijakan tersebut.
Sufyanto, dosen Politik dan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, menilai permasalahan antara bupati dan wakil bupati bukanlah hal baru. “Sejak pilkada langsung digelar, konflik antara keduanya selalu ada, di mana kewenangan bupati yang lebih besar seringkali menyebabkan wakil presiden tersisih,” ujarnya. Peneliti ini juga mengingatkan pentingnya soliditas dan kolaborasi di antara keduanya untuk mencegah nasib buruk seperti pendahulu mereka.
Kondisi ini memang sangat krusial dilakukan perubahan oleh Subandi dan Mimik, agar tidak terjerat dalam pusaran keburukan yang sama yang telah menimpa pejabat-pejabat sebelumnya. Oleh karena itu, masyarakat Sidoarjo berharap akan ada transparansi dan integritas dalam birokrasi demi kesejahteraan rakyat.
Melihat sejarah kelam yang terus berulang ini, penting bagi para pemimpin untuk belajar dari pengalaman masa lalu dan fokus pada visi dan misi yang lebih besar untuk membawa Sidoarjo menuju arah yang lebih baik. Melalui kemitraan yang efektif dan langkah-langkah yang konkret, harapan untuk keluar dari bayang-bayang korupsi bisa diwujudkan.