Berita

Aturan Penggunaan Sound Horeg di Jatim Dikenal Kurang Berbasis Bukti dan Efisien

Avatar photo
3
×

Aturan Penggunaan Sound Horeg di Jatim Dikenal Kurang Berbasis Bukti dan Efisien

Sebarkan artikel ini

Aturan Penggunaan Sound Horeg di Jawa Timur Dinilai Belum Efektif

Kota Malang – Pemerintah Jawa Timur menerbitkan Surat Edaran (SE) yang mengatur penggunaan sound system atau pengeras suara. Meskipun bertujuan untuk mengelola kebisingan lalu lintas suara di masyarakat, kebijakan ini menuai kritik karena dianggap tidak berbasis data yang relevan.

Dr. Alie Zainal, seorang pengamat kebijakan publik, menilai bahwa SE Bersama yang ditandatangani oleh Gubernur Jawa Timur, Kapolda, dan Pangdam V/Brawijaya ini, tidak mempertimbangkan kondisi nyata yang dihadapi masyarakat. Ia menyatakan, “Surat Edaran ini tidak menjadikan data dan fakta kejadian yang dialami masyarakat sebagai dasar pengambilan kebijakan. Misalnya, batas kebisingan yang diizinkan hingga 120 desibel, padahal batas aman seharusnya hanya 80 desibel.” Pernyataan ini menekankan pentingnya penerapan kebijakan yang lebih terukur dan berdasarkan bukti ilmiah.

Liputan mengenai SE tersebut, yang mencakup regulasi nomor 300.1/6902/209.5/2025 dan beberapa dokumen lainnya yang dikeluarkan pada 6 Agustus 2025, juga diapresiasi namun dianggap kurang efisien. Alie menekankan bahwa banyak poin yang sudah termuat dalam regulasi sebelumnya, seperti kewajiban uji KIR kendaraan dan larangan penggunaan narkoba. Hal ini membuat SE terbaru terkesan hanya mengulang kembali peraturan yang ada, tanpa menawarkan solusi baru untuk masalah yang ada.

Selanjutnya, Alie mempertanyakan efektivitas pelaksanaan SE tersebut tanpa adanya pengawasan yang memadai. “Kalau pelanggaran tidak ditindak tegas di lapangan, ya percuma. Apakah aparat sudah siap dengan pengawasan langsung? Ini perlu dijawab,” ungkapnya. Ia menyoroti potensi konflik horizontal yang mungkin timbul jika penegakan aturan tidak dilakukan secara konsisten.

Di sisi lain, Alie juga mengingatkan pentingnya kejelasan mengenai tanggung jawab dalam perizinan kegiatan menggunakan sound system. Ia menyinggung pertanyaan mengenai konsekuensi hukum jika terjadi korban jiwa akibat penggunaan suara yang melebihi batas. “Apakah yang dimaksud hanya tanggung jawab pidana? Atau ada tanggung jawab perdata dan administratif? Ini harus jelas,” tuturnya.

Meskipun kritik yang disampaikannya tajam, Alie tetap mengapresiasi langkah Forkopimda Jawa Timur dalam berusaha menjaga keseimbangan antara pelaku usaha hiburan dan masyarakat. “Saya melihat ini sebagai bentuk kompromi antara penggiat sound horeg dan masyarakat yang kontra. Pemerintah hadir, berupaya menjaga ketertiban, namun pelaksanaan di lapangan harus benar-benar dikawal,” jelasnya.

Firmasi dari Forkopimda, termasuk Surat Edaran ini, memunculkan harapan bagi masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang lebih nyaman dari kebisingan, tetapi tantangan dalam implementasi di lapangan tetap menjadi perhatian penting. Keberhasilan kebijakan ini akan sangat ditentukan oleh bagaimana pemerintah dan aparat menangani pelaksanaannya secara efektif di tengah masyarakat.

Dengan berbagai kekhawatiran dan harapan, masyarakat diharapkan tetap aktif menyuarakan pendapat mereka terkait kebijakan ini demi terciptanya harmoni dalam kehidupan sehari-hari.