Internasional

AS Diduga Dukung Demo Berdarah di Nepal dengan Dana Rp14 Triliun

Avatar photo
2
×

AS Diduga Dukung Demo Berdarah di Nepal dengan Dana Rp14 Triliun

Sebarkan artikel ini

AS Diduga Biayai Aksi Protes Berujung Kerusuhan di Nepal

Jakarta, CNN Indonesia — Amerika Serikat (AS) diduga telah mencurahkan dana sebesar lebih dari US$900 juta (sekitar Rp14 triliun) untuk mendukung aksi protes di Nepal yang berujung pada kerusuhan. Media India, The Sunday Guardian, melaporkan bahwa aliran dana tersebut berlangsung sejak tahun 2020, mengindikasikan adanya campur tangan AS dalam politik Nepal.

Informasi mengenai pendanaan ini diungkap oleh seorang whistleblower yang memiliki akses ke dokumen sensitif. Dokumen ini mencakup nama politisi lokal yang diperkirakan telah dirugikan secara finansial dalam proses perubahan rezim tersebut. Berdasarkan laporan, tambahan dana ini mencakup dukungan untuk pemerintah, media, organisasi masyarakat sipil, serta konsorsium pemilihan yang dikelola oleh tiga lembaga seperti National Democratic Institute (NDI), International Republican Institute (IRI), dan International Foundation for Electoral Systems (IFES).

The Sunday Guardian menekankan bahwa skala investasi ini cukup mencolok untuk negara seperti Nepal. Pada Mei 2022, USAID menandatangani perjanjian dengan Kementerian Keuangan Nepal senilai US$402,7 juta (sekitar Rp6 triliun). Hingga Februari 2025, sekitar US$158 juta (sekitar Rp2,5 triliun) telah dicairkan, meninggalkan sisa dana sekitar US$244,7 juta (sekitar Rp4 triliun) yang belum digunakan.

Di samping itu, Perjanjian Millennium Challenge Corporation (MCC) yang bernilai US$500 juta (sekitar Rp8 triliun) juga masih dalam proses implementasi setelah ditandatangani pada 2017. Barulah pada Februari 2022, perjanjian ini diratifikasi setelah terjadi protes keras di parlemen. Hingga saat ini, baru sekitar 8,63 persen dana MCC yang dicairkan, dengan periode implementasi diperpanjang agar proyek infrastruktur tetap berjalan.

Jika digabungkan, total komitmen AS ke Nepal melebihi angka US$900 juta. Dalam dokumen internal terkait USAID, beberapa proyek spesifik teridentifikasi, seperti Proyek Demokratis yang didanai sebesar US$8 juta (sekitar Rp131 miliar) dan Pusat Sumber Daya Demokrasi Nepal dengan pendanaan sebesar US$500.000 (sekitar Rp8 miliar). Selain itu, ada program untuk masyarakat sipil dan media yang memperoleh alokasi dana sebesar US$37 juta (sekitar Rp607 miliar), serta inisiatif kesehatan remaja dengan anggaran US$35 juta (sekitar Rp574 miliar).

The Sunday Guardian juga mengingatkan bahwa meskipun proyek-proyek ini diresmikan sebagai inisiatif sipil, media, dan kesehatan, mereka juga berpotensi mempengaruhi narasi politik serta mobilisasi partisipasi pemuda dalam pemerintahan. NDI, misalnya, bertugas melatih aktivis dalam kepemimpinan dan advokasi, sementara IRI melaksanakan survei nasional yang menunjukkan bahwa 62 persen warga Nepal mendukung pembentukan partai politik baru, mencerminkan ketidakpuasan yang menjadi latar belakang protes yang terjadi belakangan ini.

Terkait hal ini, The Sunday Guardian mencatat bahwa pola intervensi serupa juga terlihat di negara-negara seperti Bangladesh dan Kamboja, di mana dukungan terhadap program pemuda dan masyarakat sipil terjadi bersamaan dengan gejolak politik. Kombinasi besar dari pendanaan, program yang terfokus, serta mobilisasi pemuda di Nepal dapat membuktikan bahwa ketegangan politik yang terjadi belakangan ini sempat terpengaruh oleh campur tangan AS, seperti yang dipaparkan oleh Press TV.

Dengan demikian, apa pun dampak dari pendanaan ini, situasi politik Nepal patut dicermati mengingat implikasi besar terhadap stabilitas dan kedaulatan negara tersebut.