Ketua Fraksi Partai Golkar Soroti Gaji Anggota DPR Nonaktif
Jakarta – Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR RI, Muhammad Sarmuji, menegaskan bahwa anggota DPR yang dinyatakan nonaktif seharusnya tidak menerima gaji dan tunjangan. Pernyataan ini muncul sebagai tanggapan atas polemik mengenai beberapa anggota DPR yang tetap menerima imbalan meski telah dinonaktifkan oleh partai politik mereka.
“Anggota DPR yang dinyatakan nonaktif seharusnya berkonsekuensi tidak menerima gaji dan segala bentuk tunjangan. Ini adalah perbedaan yang jelas antara anggota DPR yang aktif dan yang nonaktif,” ungkap Sarmuji dalam keterangannya di Jakarta pada Rabu, 3 September 2025.
Lebih lanjut, Sarmuji menjelaskan bahwa jika belum ada aturan yang jelas mengenai hak gaji dan tunjangan bagi anggota DPR nonaktif, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) diharapkan dapat segera merumuskan peraturan yang diperlukan. “Jika belum ada rujukan terkait hal ini, MKD dapat mengambil keputusan yang akan dijadikan pegangan bagi Sekretariat Jenderal DPR RI,” tambahnya.
Pernyataan ini semakin relevan di tengah dinamika politik dan kritik dari masyarakat mengenai transparansi dan akuntabilitas anggota DPR. Beberapa masyarakat menilai bahwa tunjangan DPR saat ini tidak sensitif terhadap kondisi sosial ekonomi yang dihadapi rakyat.
Aksi unjuk rasa di kompleks DPR di Senayan baru-baru ini menunjukkan betapa besar kemarahan publik terhadap isu ini. Kericuhan terjadi saat aparat keamanan terpaksa menggunakan gas air mata untuk membubarkan demonstrasi yang dipicu oleh keluhan mengenai tunjangan anggota DPR.
Dalam situasi ini, penting bagi DPR untuk mengambil langkah nyata untuk memperlihatkan kepedulian terhadap masyarakat. Dengan menggaji anggota DPR yang nonaktif, dapat muncul kesan bahwa lembaga legislatif tidak memahami kesulitan yang dihadapi rakyat, terutama di masa-masa sulit seperti sekarang.
Oleh karena itu, langkah Sarmuji dalam menegaskan perlunya penegakan aturan mengenai gaji dan tunjangan anggota DPR nonaktif harus didukung. Kebijakan yang diambil harus mencerminkan kehati-hatian dan tanggung jawab sosial, agar DPR dapat kembali mendapatkan kepercayaan publik.
Implikasi dari rekomendasi ini cukup signifikan bagi masyarakat Indonesia yang saat ini merasakan dampak dari berbagai krisis, baik ekonomi maupun sosial. Upaya DPR untuk mendengarkan suara rakyat dan menerapkan kebijakan yang adil akan sangat berdampak pada legitimasi lembaga tersebut di mata publik.
Sarmuji berharap agar langkah ini mampu membuka dialog yang lebih konstruktif antara DPR dan masyarakat. Keterbukaan dalam pengelolaan anggaran dan tunjangan legislatif menjadi hal yang sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik serta mendorong partisipasi masyarakat dalam politik.
Dalam kesimpulannya, situasi ini menekankan betapa pentingnya DPR untuk beradaptasi dengan kondisi masyarakat yang dinamis, serta menghadirkan contoh yang baik dalam pengelolaan anggaran negara. Sebab, di tengah hiruk pikuk politik, suara rakyat adalah yang paling utama.