Internasional

Aktivis Damai Pashtun Gelar Aksi di Jenewa, Tuntut Akhiri Pelanggaran HAM di Pakistan

Avatar photo
1
×

Aktivis Damai Pashtun Gelar Aksi di Jenewa, Tuntut Akhiri Pelanggaran HAM di Pakistan

Sebarkan artikel ini

Aktivis Hak Asasi Manusia Aksi di Jenewa: Soroti Pelanggaran Hak Komunitas Pashtun di Pakistan

Jakarta, CNN Indonesia — Sejumlah aktivis hak asasi manusia melakukan aksi demonstrasi di depan kantor PBB di Jenewa, Swiss, pada pekan lalu. Aksi ini diselenggarakan oleh Afghanischer Kulturverein Larawbar EV dari Jerman dan Pashtun Tahafuz Movement (PTM), untuk menarik perhatian global terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh komunitas etnis Pashtun di Pakistan.

Demonstrasi ini bertujuan untuk memperingati para korban penghilangan paksa, pembunuhan tanpa proses hukum, serta serangan drone yang ditargetkan kepada warga sipil di wilayah Khyber Pakhtunkhwa. Dalam aksi tersebut, para aktivis membawa spanduk dan meneriakkan tuntutan agar dunia tidak tinggal diam terhadap pelanggaran yang terus terjadi.

Pashtun merupakan salah satu kelompok etnis terbesar di Pakistan dan selama bertahun-tahun menjadi sasaran kebijakan represif oleh negara. Diskriminasi, stigmatisasi, dan kekerasan yang dilegitimasi oleh pemerintah telah menempatkan seluruh komunitas sebagai “tersangka”. Sejak 2011, Amnesty International mencatat 10.078 kasus penghilangan paksa terdaftar di Komisi Penyelidikan Pakistan, dengan 3.485 kasus di Khyber Pakhtunkhwa dan 2.752 di Balochistan, dua provinsi mayoritas Pashtun. Namun, angka ini diyakini jauh lebih rendah dari kenyataan karena banyak kasus tidak dilaporkan. Pada bulan lalu, Kelompok Kerja PBB untuk Penghilangan Paksa bahkan mengeluarkan pernyataan mengkhawatirkan tentang impunitas yang terus berlanjut di Pakistan.

Tekanan terhadap gerakan sipil Pashtun semakin meningkat. Pada Oktober 2024, pemerintah Pakistan melarang PTM dengan alasan keamanan melalui undang-undang anti-terorisme. Amnesty International mengkritik langkah ini sebagai serangan terhadap kebebasan berserikat. Bentrokan yang terjadi setelah pelarangan mengakibatkan tiga demonstran tewas, menambah daftar korban yang jatuh akibat penindasan tersebut.

Operasi keamanan yang dilaksanakan dengan alasan memberantas terorisme juga terus meluas, seperti operasi “Azm-e-Istehkam” yang diluncurkan pada Juni 2024 dalam menanggapi meningkatnya serangan militan. Namun, laporan independen mempertanyakan efektivitas operasi ini, yang cenderung menghukum masyarakat tanpa mengatasi akar masalah.

Laporan UNICEF menggambarkan dampak operasi tersebut di Distrik Kurram, di mana banyak masyarakat mengalami pengungsian dan kembali dengan penuh ketidakpercayaan. Ancaman ranjau darat semakin menambah derita warga, dengan insiden ledakan ranjau yang menewaskan empat orang pada Juli 2025.

Pengendalian informasi di Pakistan juga semakin ketat. Pada Januari 2025, negara tersebut mengesahkan aturan baru untuk memperluas pengawasan media sosial dan membentuk pengadilan khusus bagi penyebar informasi palsu. Pakistan menduduki peringkat 158 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers 2025, dengan penyadapan telepon dan blokir media sebagai praktik umum.

Serangan drone oleh Amerika Serikat antara 2004 hingga 2018 meninggalkan luka mendalam di kalangan warga Pashtun, menewaskan ratusan warga sipil. Meskipun kampanye serangan itu telah berkurang, banyak keluarga korban masih mencari keadilan dan kompensasi atas kehilangan yang dialami.

Tekanan internasional terhadap Pakistan meningkat, dengan seruan agar negara tersebut mengakhiri tindakan pembunuhan di luar hukum dan penghilangan paksa. PBB dan LSM global mendesak pemerintah Islamabad untuk meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa serta mencabut peraturan yang menyokong penahanan rahasia.

Dalam konteks ini, tindakan-tindakan yang diminta dianggap sebagai langkah minimum untuk memulihkan kepercayaan publik di wilayah yang telah lama menanggung beban berat dari konflik berkepanjangan ini.