Nasional

AAI Soroti Kontroversi Dalam RKUHAP dan Kewajiban Pengesahan yang Tidak Dipaksakan

Avatar photo
4
×

AAI Soroti Kontroversi Dalam RKUHAP dan Kewajiban Pengesahan yang Tidak Dipaksakan

Sebarkan artikel ini

Jakarta — Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) mengungkapkan kekhawatiran terhadap sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang saat ini sedang dibahas di Komisi III DPR. Ketua DPP AAI, Arman Hanis, mendesak agar pengesahan RKUHAP tidak dipaksakan sebelum semua persoalan serta potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan prinsip due process of law diselesaikan.

AAI telah melakukan kajian terhadap draf RKUHAP dan mencatat sepuluh poin penting yang perlu diperhatikan guna memperkuat regulasi tersebut. Di antara isu utama yang diangkat adalah ketentuan mengenai penahanan dan penyadapan tanpa izin pengadilan, yang dinilai berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum.

Dalam pasal mengenai penahanan, AAI menggarisbawahi bahwa terdapat risiko pelaksanaan yang subjektif, di mana penyidik dapat menahan seseorang dengan alasan tidak kooperatif dalam pemeriksaan atau memberikan informasi yang dianggap tidak sesuai. Penahanan tersebut dapat berlangsung hingga tujuh hari tanpa izin dari pengadilan, yang menjadi perhatian serius bagi AAI.

“Jika klausul-klausul ini tidak direvisi, akan ada risiko pelanggaran HAM yang nyata. Kami percaya Indonesia membutuhkan sistem hukum yang lebih baik, tetapi prosesnya harus tetap menghormati prinsip-prinsip hukum yang adil,” tegas Arman dalam keterangannya.

Dari perspektif masyarakat, perdebatan mengenai RKUHAP ini tidak hanya berkaitan dengan dunia hukum, tetapi juga berimplikasi langsung pada kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Masyarakat sangat menyadari pentingnya perlindungan hak-hak mereka dalam proses hukum, dan ketentuan yang dianggap kontroversial bisa menciptakan ketidakpastian serta kekhawatiran.

Sebagai respons terhadap masukan dari berbagai pihak, Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menegaskan bahwa pembahasan RKUHAP masih berlangsung dan tidak terburu-buru menuju tahap pengesahan. “Kami akan mengundang lebih banyak pihak untuk memberikan masukan. Proses ini penting agar setiap aspek diperhitungkan secara matang,” ujarnya.

Komisi III DPR telah mengundang sejumlah asosiasi advokat dan organisasi sipil, seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), untuk memberikan perspektif tambahan dalam pembahasan ini. Langkah ini diharapkan dapat mengakomodasi berbagai sudut pandang masyarakat yang merindukan perbaikan sistem hukum.

Namun, kecepatan pengesahan RKUHAP tetap menjadi sorotan. Masyarakat menunggu kepastian bahwa perubahan yang ada tidak hanya bersifat formalitas, tetapi benar-benar menghasilkan hukum yang dapat melindungi hak-hak mereka. Kekhawatiran akan penyalahgunaan kekuasaan harus menjadi bahan pertimbangan serius bagi legislator.

Dengan segala dinamika yang ada, RKUHAP diharapkan dapat menjadi landasan hukum yang lebih baik bagi penegakan hukum di Indonesia, namun harus datang dengan jaminan bahwa hak asasi dan keadilan akan tetap diutamakan. Keterlibatan masyarakat dalam proses ini sangat diperlukan untuk memastikan bahwa produk hukum yang dihasilkan adalah representasi dari kebutuhan serta aspirasi rakyat.

Proses ini mencerminkan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menciptakan sistem hukum yang kuat dan adil. Ke depannya, penting bagi masyarakat untuk terus memantau dan berpartisipasi dalam diskursus ini, agar suara mereka didengar dan hak-hak mereka terjamin.