Nasional

PBB Didorong Awasi Masa Depan Gaza di Tengah Ketegangan Konflik Palestina-Israel

Avatar photo
3
×

PBB Didorong Awasi Masa Depan Gaza di Tengah Ketegangan Konflik Palestina-Israel

Sebarkan artikel ini

PBB Didesak Awasi Masa Depan Gaza, Kecaman Terhadap Peran Blair dan Australia

Istanbul – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kini dianggap sebagai lembaga yang memiliki legitimasi untuk mengawasi masa depan Jalur Gaza, wilayah yang masih terjebak dalam konflik berkepanjangan. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Profesor Ben Saul, Pelapor Khusus PBB untuk hak asasi manusia dan kontra-terorisme, dalam sebuah diskusi di National Press Club of Australia mengenai status kenegaraan Palestina serta rencana gencatan senjata yang ditawarkan oleh mantan Presiden AS Donald Trump untuk Gaza.

Saul menekankan perlunya penggunaan PBB dalam pengawasan internasional terhadap masa depan Gaza, mengingat pengalaman negatif dari keterlibatan mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, dalam proses perdamaian Timur Tengah. Ia menyebutkan bahwa Blair memiliki rekam jejak yang kurang memuaskan, terutama melalui perannya dalam Quartet, forum yang dibentuk pada tahun 2002 oleh Uni Eropa, Rusia, PBB, dan Amerika Serikat. Forum tersebut dinilai gagal mencapai tujuan perdamaian yang diharapkan.

“Jika ingin pengawasan internasional yang sah terhadap masa depan Gaza, gunakan PBB. Itulah fungsi yang seharusnya dijalankan sejak awal,” tegas Saul.

Dalam kesempatan ini, Saul juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap pemerintah Australia terhadap perang Israel di Gaza. Australia baru saja mengakui Palestina sebagai negara merdeka pada bulan lalu, setelah tekanan dari publik yang mencapai 100 ribu orang yang berunjuk rasa di Jembatan Sydney Harbour.

Dalam pernyataannya, Saul menunjukkan bahwa legitimasi PBB berasal dari keterlibatan semua negara anggota dan bukan dari kehendak individu seperti yang terjadi dalam rencana Trump. Rencana ini terdiri dari 20 poin yang diungkap di Gedung Putih bersama pemimpin Israel, Benjamin Netanyahu. Di antara isu-isu penting yang diangkat adalah penghentian permusuhan, pembebasan sandera, dan pembentukan lembaga transisi yang akan mengelola Gaza.

Saul memperingatkan bahwa rencana Trump yang melibatkan pembentukan “komite teknokrat Palestina non-politis” di bawah pengawasan lembaga baru bernama Dewan Perdamaian, justru melemahkan legitimasi internasional yang seharusnya dijunjung oleh PBB.

Pakar hukum hak asasi manusia internasional dari Australia, Chris Sidoti, menambahkan bahwa konflik di Gaza merupakan salah satu yang paling unik karena warga Palestina tidak memiliki jalan untuk melarikan diri. Sejak 7 Oktober 2023, lebih dari 66 ribu warga Gaza, mayoritas perempuan dan anak-anak, dilaporkan tewas akibat serangan Israel. Sidoti menekankan, kondisi ini jauh berbeda dibandingkan dengan perang di Ukraina atau konflik di Sudan, di mana warga sipil masih dapat mencari perlindungan di luar perbatasan.

“Di Gaza, dua juta orang terjebak dalam wilayah yang luasnya hanya separuh Canberra. Mereka tidak bisa melarikan diri dari serangan udara, kelaparan, dan kekurangan fasilitas medis. Ini membuat situasi menjadi sangat berbeda,” ungkap Sidoti.

Ia juga mengkritik tindakan Israel yang sejak awal telah melakukan operasi penghancuran total di Gaza, sehingga jutaan warga sipil hidup terjebak tanpa jalan keluar. Pembicaraan ini mengindikasikan perlunya perhatian internasional yang lebih besar dalam mencari solusi bagi krisis kemanusiaan yang berlangsung di wilayah tersebut.