Jihad Islam Kecam Proposal Gencatan Senjata Trump dan Netanyahu untuk Gaza
Jakarta, CNN Indonesia — Pemimpin Jihad Islam, Ziad Al Nakhala, menyatakan bahwa rencana gencatan senjata permanen yang diusulkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, merupakan “resep untuk meledakkan kawasan”. Pernyataan ini muncul menyusul pengumuman 20 poin kesepakatan yang disepakati tanpa melibatkan Hamas, salah satu sekutu utama Jihad Islam.
Dalam proposal tersebut, yang belum mendapat respon dari Hamas, ada beberapa langkah signifikan yang harus dilakukan oleh kelompok tersebut. Salah satu syarat utama adalah Hamas diwajibkan untuk membebaskan semua sandera dalam waktu 72 jam dan melucuti senjata mereka. Tidak hanya itu, proposal juga mensyaratkan agar Hamas tidak lagi menjalankan pemerintahan di Jalur Gaza.
Pemerintahan sementara yang akan menggantikan Hamas terdiri dari komite teknokratis yang apolitis dan dibentuk oleh warga Palestina yang berkualifikasi. Komite ini akan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan layanan publik bagi masyarakat Gaza. Selain itu, keberadaan komite ini juga akan diawasi oleh badan transisi internasional baru yang dipimpin oleh Presiden Trump, di mana salah satu anggotanya adalah mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair.
Tujuan dari badan ini adalah untuk menetapkan kerangka kerja serta mengelola pendanaan pembangunan kembali Gaza, hingga Otoritas Palestina (PA) selesai melakukan reformasi. Setelah reformasi, seluruh kekuasaan badan ini akan diserahkan kepada PA. “Badan ini akan menerapkan standar internasional terbaik untuk menciptakan pemerintahan modern dan efisien guna melayani rakyat Gaza, serta menciptakan kondisi yang kondusif untuk menarik investasi,” demikian salah satu poin dalam proposal tersebut.
Jihad Islam dan Hamas, yang memiliki dukungan penuh dari Iran, tengah berjuang menghadapi tekanan internasional dan kebijakan yang diusung oleh AS dan Israel. Al Nakhala juga menegaskan bahwa kesepakatan yang ditawarkan itu tidak akan membawa perdamaian, melainkan justru akan mengakibatkan ketegangan yang lebih besar.
Sementara itu, hingga saat ini Hamas belum memberikan pernyataan resmi mengenai proposal yang diajukan oleh Trump dan Netanyahu. Langkah selanjutnya dari Hamas dan respon dari mereka terhadap tekanan internasional ini menjadi perhatian banyak pihak.
Kesepakatan ini muncul di tengah konflik berkelanjutan di Jalur Gaza, di mana situasi kemanusiaan semakin memburuk. Banyak pihak mengharapkan adanya solusi yang berkelanjutan dan adil untuk kedua belah pihak, terutama dalam konteks pemulihan dan pembangunan kembali wilayah yang terdampak.
Dengan latar belakang yang kompleks dan penuh tantangan, masa depan Jalur Gaza tetap menjadi isu krusial yang memerlukan perhatian dan tindakan nyata dari komunitas internasional.