Candi Tapan: Ingatan yang Tersimpan dalam Tanah

Jejak purba peradaban Hindu di Blitar

Nasional47 Dilihat

Di tengah hamparan sawah yang hijau, tersembunyi sebuah peninggalan sejarah yang memancarkan aura mistis dan keagungan masa lalu: Candi Tapan. Terletak di Dusun Bakulan, Desa Bendosewu, Kecamatan Talun, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, candi ini bukan sekadar tumpukan batu bata merah yang terkubur waktu, melainkan sebuah cermin yang memantulkan kehidupan spiritual, seni, dan kebudayaan masyarakat Hindu-Buddha di Jawa pada masa lampau. Dengan pendekatan reflektif, filosofis, dan sedikit sentuhan satire, mari kita jelajahi keunikan Candi Tapan, yang meski kecil dan kurang populer dibandingkan Borobudur atau Prambanan, memiliki cerita yang tak kalah memikat.

Sejarah yang Terkubur dan Ditemukan Kembali

Candi Tapan, atau yang oleh masyarakat setempat disebut Candi Sawah Tapan, bukanlah monumen megah yang langsung mencuri perhatian. Strukturnya sederhana, sebagian besar terpendam di bawah tanah, dan baru ditemukan kembali pada tahun 1995 setelah tertimbun gundukan tanah selama berabad-abad. Penemuan ini ibarat kejutan kecil dari alam, seolah bumi Blitar memutuskan untuk membuka rahasia yang telah lama disimpannya. Penggalian hingga kedalaman enam meter mengungkap struktur batu bata merah berundak-undak, ciri khas arsitektur candi Hindu-Buddha di Jawa.

Nama “Tapan” sendiri berasal dari mitos lokal yang mengaitkan candi ini dengan tempat bertapa. Kata “tapa” dalam tradisi Jawa merujuk pada meditasi atau asketisme, sebuah praktik spiritual untuk mendekatkan diri pada kebenaran sejati. Masyarakat setempat percaya bahwa candi ini dulunya adalah tempat para pertapa mencari pencerahan. Dalam konteks filosofis, nama ini mengundang refleksi: di tengah kesederhanaan sawah dan kehidupan agraris, ada ruang untuk kontemplasi mendalam tentang makna hidup. Ironisnya, di zaman modern yang serba cepat ini, kita mungkin lebih sibuk mengejar sinyal Wi-Fi daripada mencari ketenangan batin seperti para pertapa dulu.

Catatan sejarah tentang Candi Tapan pertama kali muncul dalam laporan Hindia Belanda, Rapporten Comissie in Nederlandsch-Indie voor Oudheikundig Onderzoek op Jawa en Madoera. Dokumen ini menyebutkan sejumlah arca yang ditemukan di sekitar candi, seperti dua arca Dwarapala (penjaga pintu candi), arca Bodhisatwa, fragmen arca Siwa, arca Siwa Mahayogi, dan arca laki-laki yang belum teridentifikasi. Sayangnya, banyak arca ini kini hilang, entah dicuri, rusak, atau tersimpan di gudang museum yang tak pernah dikunjungi. Ini adalah satire kecil tentang bagaimana kita, sebagai pewaris budaya, kadang lebih pandai kehilangan daripada melestarikan.

Arsitektur dan Makna Filosofis

Secara arsitektur, Candi Tapan adalah contoh sederhana namun elegan dari candi Hindu-Buddha. Struktur batu bata merahnya yang berundak-undak mencerminkan konsep kosmologi Hindu, di mana candi melambangkan gunung suci (Meru) yang menghubungkan dunia manusia dengan alam dewa. Bagian candi yang terpendam di bawah tanah mengingatkan kita pada lapisan-lapisan kesadaran: apa yang terlihat di permukaan hanyalah sebagian kecil dari kebenaran yang lebih dalam. Filosofis, ini seperti hidup manusia—kita sering terpaku pada apa yang tampak, padahal makna sejati tersembunyi di kedalaman jiwa.

Di sekitar candi, ditemukan fragmen yoni (simbol kesuburan dan kekuatan feminin dalam tradisi Hindu) serta arca Nandi, kendaraan Dewa Siwa, yang menegaskan bahwa candi ini kemungkinan besar didedikasikan untuk pemujaan Siwa. Keberadaan dua arca Dwarapala, masing-masing setinggi 155 cm, menambah kesan bahwa Candi Tapan bukan sembarang tempat. Dwarapala, dengan wajah raksasa yang menyeramkan, bukan hanya penjaga fisik, tetapi juga simbol perlindungan spiritual terhadap gangguan duniawi. Bayangkan betapa lucunya jika di zaman sekarang kita memasang “Dwarapala” digital berupa firewall untuk melindungi data pribadi kita—tapi sayang, serangan siber sering kali lebih menakutkan daripada raksasa batu.

Temuan arca-arca ini juga mengundang pertanyaan: bagaimana masyarakat agraris di Blitar pada abad ke-8 atau ke-9 mampu menciptakan karya seni yang begitu detail dan bermakna? Ini adalah bukti bahwa kebudayaan tinggi tidak selalu lahir dari kota-kota besar atau kerajaan megah. Di tengah sawah, di antara aliran irigasi dan kicau burung, manusia kuno mampu merenungkan eksistensi, seni, dan hubungan mereka dengan alam semesta. Mungkin kita perlu belajar dari mereka untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk modern dan mendengarkan bisikan alam.

Candi Tapan dalam Konteks Sosial dan Budaya

Candi Tapan bukanlah monumen yang berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari jaringan kebudayaan Hindu-Buddha yang menyebar di Jawa pada masa Kerajaan Mataram Kuno. Lokasinya yang strategis, dikelilingi sawah dan saluran irigasi, menunjukkan bahwa candi ini mungkin memiliki fungsi sosial selain spiritual. Candi sering kali menjadi pusat komunitas, tempat berkumpulnya masyarakat untuk upacara, perdagangan, atau diskusi. Dalam konteks ini, Candi Tapan bisa dilihat sebagai “ruang publik” kuno, jauh lebih bermakna daripada mal-mal modern yang penuh iklan.

Namun, kesederhanaan Candi Tapan juga mencerminkan ironi. Di tengah kejayaan kerajaan-kerajaan besar, candi ini seperti pengingat bahwa tidak semua peninggalan sejarah harus megah untuk bermakna. Dalam dunia yang obsesif dengan “besar” dan “terkenal,” Candi Tapan mengajarkan kita untuk menghargai yang kecil dan tersembunyi. Ia seperti seorang bijak yang diam-diam menyimpan kebijaksanaan, sementara kita sibuk mengagumi gemerlap candi-candi besar yang menjadi magnet wisata.

Tantangan Pelestarian dan Refleksi Modern

Hingga kini, Candi Tapan masih menghadapi tantangan pelestarian. Kondisinya yang sebagian besar terpendam dan minimnya perhatian publik membuatnya rentan terhadap kerusakan alam dan ulah manusia. Banyak arca yang hilang, dan informasi tentang candi ini masih terbatas. Ini adalah satire pahit tentang bagaimana kita sering kali lebih peduli pada tren viral di media sosial daripada warisan budaya yang nyata. Jika Candi Tapan bisa berbicara, mungkin ia akan berkata, “Aku sudah bertahan ribuan tahun, tapi kalian lebih sibuk mengunggah selfie daripada menggali sejarahku.”

Pelestarian Candi Tapan bukan hanya soal menjaga batu-batu tua, tetapi juga tentang memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Candi ini mengajarkan kita tentang keseimbangan antara manusia, alam, dan spiritualitas. Di tengah krisis lingkungan dan hiruk-pikuk urbanisasi, pesan ini terasa semakin relevan. Mungkin kita perlu “bertapa” seperti para pendahulu di Candi Tapan untuk menemukan kembali harmoni yang telah lama hilang.

Candi Tapan sebagai Cermin Jiwa

Candi Tapan adalah lebih dari sekadar peninggalan arkeologi. Ia adalah cermin yang memantulkan kepekaan spiritual, kreativitas seni, dan kearifan lokal masyarakat Jawa kuno. Dalam kesederhanaannya, candi ini mengajak kita untuk merenungkan makna hidup, menghargai yang tersembunyi, dan menjaga warisan budaya dengan lebih baik. Dengan pendekatan filosofis, kita bisa melihat Candi Tapan sebagai pengingat bahwa kebenaran sejati sering kali tidak terlihat di permukaan, melainkan terkubur dalam kedalaman—baik itu dalam tanah Blitar maupun dalam jiwa kita sendiri.

Sebagai penutup, mari kita bayangkan sebuah dunia di mana Candi Tapan menjadi destinasi wisata yang ramai, bukan karena kemegahannya, tetapi karena pesan yang dibawanya: bahwa dalam kesederhanaan, kita bisa menemukan keagungan. Dan mungkin, dengan sedikit humor, kita bisa membayangkan Dwarapala raksasa itu tersenyum kecil, menjaga candi dari gangguan wisatawan yang lupa membuang sampah. Candi Tapan, meski kecil, adalah pengingat bahwa sejarah selalu punya cara untuk berbicara—jika kita mau mendengar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed