Australia Larang Media Sosial untuk Remaja di Bawah 16 Tahun, Pujian Mengalir dari PBB
Jakarta, CNN Indonesia—Rencana pemerintah Australia untuk melarang akses media sosial bagi remaja di bawah usia 16 tahun mendapat sambutan positif di kalangan dunia internasional, terutama di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB, Perdana Menteri Anthony Albanese menegaskan bahwa dampak negatif media sosial terhadap anak-anak “terus berkembang”.
“Langkah ini belum sepenuhnya aman, tetapi merupakan kemajuan signifikan ke arah yang benar,” ujar Albanese dalam konferensi yang berlangsung di New York, yang dilaporkan oleh Reuters. Pernyataan tersebut menyoroti keseriusan pemerintah Australia dalam menangani isu kesehatan mental remaja akibat penggunaan media sosial yang berlebihan.
Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, juga memberikan dukungan atas inisiatif Australia ini. Ia mengaku terinspirasi dan menyatakan bahwa Eropa akan memantau langkah Australia dengan seksama. “Kami di Eropa akan belajar dari contoh ini. Kita harus bertindak demi masa depan generasi mendatang,” tegasnya.
Undang-undang yang disahkan oleh pemerintah Australia pada November 2024 bertujuan untuk menunda remaja dalam membuat akun media sosial yang diperbolehkan, dari usia 13 hingga 16 tahun. Inisiatif ini muncul setelah sejumlah penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat berdampak terhadap kesehatan mental, seperti perundungan, misinformasi, dan efek negatif terhadap citra tubuh.
Albanese menekankan bahwa upaya ini adalah langkah “masuk akal”, meskipun diakui bahwa tindakan tersebut mungkin terkesan terlambat untuk bisa melindungi anak-anak pada fase-fase kritis dalam perkembangan hidup mereka. “Kami harus menghadapi tantangan yang terus berubah. Berbagai negara memiliki pendekatan yang berbeda. Undang-undang ini diharapkan dapat membantu remaja mendapatkan pengalaman nyata, bukan hanya sekadar yang ditentukan oleh algoritma,” tambahnya.
Langkah Australia ini bukan hanya menjadi perhatian domestik, tetapi juga mengundang reaksi dari negara-negara lain yang menghadapi masalah serupa dengan dampak media sosial. Banyak pihak percaya bahwa tindakan ini dapat menjadi contoh bagi negara lain untuk mengambil tindakan serupa demi meningkatkan kesehatan mental remaja.
Namun, kritik juga muncul mengenai potensi pembatasan kebebasan berekspresi di kalangan remaja. Beberapa tokoh masyarakat meminta agar pemerintah tidak hanya fokus pada pembatasan, tetapi juga menyediakan pendidikan dan bimbingan yang memadai terkait penggunaan media sosial yang sehat.
Dengan langkah ini, Australia berupaya menjadi pelopor dalam melindungi generasi muda dari gejolak dampak negatif yang ditawarkan oleh media sosial. Dalam konteks global, kebijakan ini dapat menjadi acuan bagi negara-negara lain untuk terus mengevaluasi dan memperbaiki regulasi terkait penggunaan platform digital, dengan tujuan utama melindungi kesehatan mental dan perkembangan sosial anak-anak.
Di saat dunia semakin tergantung pada teknologi, pemahaman terhadap dampak yang ditimbulkan menjadi sangat krusial. Masyarakat pun diharapkan menyambut langkah tersebut dengan bijaksana agar keseimbangan antara kemajuan teknologi dan kesehatan mental dapat terjaga.