Pemimpin Suriah: Negara Kami Beralih dari ‘Ekspor Krisis’
Pemimpin Suriah, Bashar al-Assad, dalam pernyataannya baru-baru ini, mengklaim bahwa negaranya telah mengalami transformasi signifikan dari sebuah negara yang dikenal sebagai ‘ekspor krisis’ menjadi bangsa yang mulai stabil dan beranjak maju. Pernyataan ini disampaikan dalam konteks upaya Suriah untuk mengembalikan posisi geopolitiknya di kawasan setelah bertahun-tahun dilanda konflik berkepanjangan.
Dalam konferensi pers yang diadakan di Damaskus, Assad menyebutkan bahwa Suriah kini berfokus pada pemulihan ekonomi dan rekonstruksi infrastruktur yang hancur akibat perang. “Kami berusaha untuk membangun kembali Suriah dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Transformasi ini tidak hanya bersifat politik, tetapi juga ekonomi dan sosial,” ujarnya.
Penilaian ini muncul di tengah berbagai tantangan yang dihadapi Suriah, termasuk sanksi internasional dan dampak dari krisis kemanusiaan yang masih berlangsung. Meski banyak daerah di Suriah masih dalam keadaan tidak stabil, pemerintahan Assad berupaya menegakkan kendali di wilayah-wilayah yang telah aman.
Latar belakang situasi Suriah sangat kompleks. Sejak pecahnya perang saudara pada 2011, negara ini mengalami keruntuhan ekonomi dan sosial yang parah. Ratusan ribu jiwa melayang, jutaan warga kehilangan tempat tinggal, dan infrastruktur vital telah hancur. Namun, belakangan ini, Ahmad al-Khouri, seorang analis politik dari Universitas Damaskus, menyatakan bahwa ada tanda-tanda pemulihan pelayanan dasar dan ekonomi di beberapa wilayah.
“Pemerintah berupaya mendengarkan kebutuhan masyarakat dan mendistribusikan bantuan secara lebih efektif,” ujar al-Khouri. Meskipun begitu, dia juga memperingatkan bahwa banyak tantangan masih harus dihadapi, khususnya dalam hal pengembalian pengungsi dan penciptaan lapangan kerja baru.
Sejak awal tahun 2023, beberapa negara Arab mulai membuka kembali hubungan diplomatik dengan Suriah. Langkah ini tampaknya bertujuan untuk mengakhiri isolasi internasional terhadap Assad dan menciptakan kondisi baru untuk rekonsiliasi di kawasan. Meski demikian, dinamika politik masih sangat rentan, dan banyak negara masih skeptis akan komitmen Suriah terhadap reformasi.
Assad menandaskan bahwa kerja sama regional merupakan kunci dalam mengatasi tantangan yang ada. “Kami percaya bahwa dengan saling mendukung, kita bisa menstabilkan kawasan ini,” tuturnya. Pernyataan ini mencerminkan harapan Suriah untuk menggalang kembali hubungan yang telah terputus dengan negara-negara tetangganya.
Sementara itu, civil society di Suriah, meskipun menghadapi berbagai keterbatasan, terus berjuang untuk advokasi perubahan positif. Organisasi-organisasi lokal terbentuk untuk membantu mendukung warga yang terdampak konflik, dan perlunya perhatian terhadap persoalan hak asasi manusia di wilayah tersebut tetap menjadi sorotan.
Pernyataan Assad mengenai perubahan positif dalam kondisi negaranya menandakan harapan baru, meskipun tantangan tetap mengintai di depan. Waktu akan menjadi penentu sejauh mana ambisi ini dapat terwujud, dan apakah Suriah benar-benar bisa bertransformasi menjadi negara yang stabil dan sejahtera bagi seluruh warganya.