Revolusi Global AS: Tantangan dan Strategi Dalam Mempertahankan Hegemoni
Amerika Serikat (AS) saat ini tengah berada di tengah perubahan besar yang disebut sebagai “revolusi dunia”, bertujuan untuk mempertahankan posisinya sebagai kekuatan dominan di panggung global. AS menghadapi dua tantangan penting: kapitalisme negara yang dipelopori oleh Tiongkok dan populisme nasionalis yang muncul di dalam negeri, seperti yang ditunjukkan oleh kebijakan mantan Presiden Donald Trump.
Dalam konteks ini, AS mengadopsi pendekatan yang berbeda dibandingkan dengan metode revolusi yang diajukan oleh Vladimir Lenin. Walaupun berangkat dari ideologi yang berbeda, terdapat pola tertentu yang dapat diidentifikasi.
Basis Ideologi yang Berbeda
Lenin mengawali perjuangannya dari landasan sosialisme ilmiah. Sebaliknya, AS mengusung kapitalisme liberal-demokratik dengan narasi “global governance.” Ini mencakup nilai-nilai seperti demokrasi, hak asasi manusia (HAM), kebebasan pasar, dan keterbukaan. Namun, di balik retorika tersebut, tujuan utama tetap mempertahankan dominasi dolar, teknologi, dan rantai pasokan global.
Aktor-aktor Kunci dalam Revolusi
Sementara Lenin mengandalkan partai Bolshevik sebagai penggerak, AS kini bergantung pada koalisi yang melibatkan Wall Street, Silicon Valley, lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia, serta berbagai organisasi non-pemerintah (NGO) dan media global. Berbeda dengan struktur partai tunggal, koalisi ini beroperasi dalam orkestrasi yang kompleks dan terkoordinasi.
Mobilisasi dan Target yang Berbeda
Lenin memfokuskan mobilisasinya pada proletar Rusia, terdiri dari buruh, petani, dan tentara. Di pihak lain, AS memobilisasi kelas menengah global yang terdidik, aktivis NGO, serta elit kosmopolitan yang diuntungkan oleh proses globalisasi. Di dalam negeri, AS berupaya menggerakkan kelas menengah progresif untuk melawan kebangkitan populisme dengan mengusung isu-isu seperti gender, ras, perubahan iklim, dan anti-fasisme.
Metode Perjuangan yang Beragam
Metode perjuangan antara Lenin dan AS juga berbeda. Lenin mengandalkan revolusi bersenjata untuk mengambil alih kekuasaan negara, sedangkan AS menggunakan pendekatan “revolusi lunak.” Metode ini meliputi penerapan sanksi ekonomi, tarif, serta pemisahan rantai pasokan dari Tiongkok. Selain itu, penguasaan teknologi, seperti chip, AI, dan 5G, serta dominasi dalam standar internasional, menjadi bagian penting dalam strategi ini.
Narasi dan Slogan yang Menjual
Lenin dikenal dengan slogannya “Tanah, Roti, Perdamaian.” Sebaliknya, AS menggunakan slogan-slogan seperti “Democracy vs Authoritarianism,” “Climate Justice,” dan “Inclusive Growth” untuk membentuk legitimasi terhadap musuh-musuh geopolitiknya. Slogan-slogan ini dirancang untuk bersifat universal dan mudah dipahami oleh publik dunia.
Institusionalisasi dan Penguatan Sistem Global
Sementara Lenin membangun institusi seperti Soviet dan Cheka untuk memperkuat kekuasaan, AS lebih memilih untuk membangun lembaga-lembaga global seperti WTO, IMF, NATO, serta berbagai badan PBB. Di samping itu, pengaruh perusahaan teknologi besar dan sistem rating juga berfungsi sebagai alat untuk memperkuat sistem kapitalisme liberal di seluruh dunia.
Bagi masyarakat Indonesia, situasi ini menciptakan tantangan dan peluang. Dalam era globalisasi yang semakin kompleks, keterlibatan aktif dalam dialog internasional serta pemahaman terhadap dinamika geopolitik menjadi penting. Selain itu, pengawasan terhadap pengaruh asing dalam kebijakan dalam negeri juga harus diperkuat untuk melindungi kepentingan rakyat.