Koleksi Layangan Kuno Kediri: Warisan Budaya yang Mendunia
Surabaya – Sebuah akun pegiat sejarah baru-baru ini mencuri perhatian publik dengan membagikan koleksi layangan kuno asal Kediri yang tersimpan di Museum Leiden, Belanda. Unggahan ini memicu diskusi mengenai asal-usul, fungsi, dan bahan pembuatan layangan di masa lalu, sekaligus menyoroti betapa pentingnya layangan dalam warisan budaya Indonesia.
Layangan di Kediri bukan sekadar permainan, melainkan bagian integral dari identitas budaya yang sarat makna filosofis. Dalam berbagai tradisi, layangan melambangkan kebebasan, doa, dan bahkan sarana spiritual. Di Kediri, layangan juga terkait erat dengan legenda seniman besar pada era Majapahit, Sungging Prabangkara, yang hingga kini masih dikenang oleh masyarakat.
Berdasarkan informasi dari Kediri Jadul, setidaknya terdapat 21 jenis layangan kuno asal Kediri yang kini menjadi koleksi di Museum Leiden. Nama-nama seperti Klabangan, Kepetan, dan Bulusan bukan sekadar istilah, setiap jenis layangan memiliki bentuk, corak, dan fungsi yang unik, mencerminkan warisan tradisi masyarakat Kediri masa lalu.
Koleksi layangan ini tidak hanya menjadi tanda bahwa permainan rakyat memiliki nilai intrinsik, tetapi juga sebagai warisan budaya yang patut dilestarikan. Beberapa jenis layangan yang tersimpan di Museum Leiden antara lain Klabangan, Kedali, dan Tanggalan Wadon, yang masing-masing menceritakan sejarah dan fungsinya dalam masyarakat.
Salah satu kisah yang memperkaya sejarah layangan di Kediri adalah legenda Sungging Prabangkara. Dikenal sebagai pelukis dan pemahat tersohor, ia menerima tugas dari Raja Brawijaya untuk melukis permaisuri secara diam-diam. Namun, karya yang tampak sempurna malah membuat raja marah, karena melihat noda yang dituduh sebagai akibat dari pengintaian.
Sebagai hukuman, Prabangkara diperintahkan untuk membuat patung permaisuri dari kayu cendana, dengan syarat harus melakukannya di atas layangan raksasa. Setelah layangan diterbangkan tinggi, tali layangan diputus, mengakibatkan Prabangkara terempas jauh. Kisahnya berakhir di Pulau Bali, sementara patung permaisuri jatuh di Jepara. Cerita ini menjadi inspirasi nama-nama tempat seperti Desa Ngadiluwih dan Sumber Jiput di Kediri.
Hingga kini, layangan tak hanya dianggap sebagai permainan rakyat tetapi juga sebagai simbol perjalanan sejarah yang panjang. Koleksi layangan kuno dari Kediri yang terletak di luar negeri menjadi pengingat pentingnya menjaga dan melestarikan kekayaan budaya. Legenda Sungging Prabangkara menunjukkan bagaimana layangan telah menginspirasi seni dan identitas budaya masyarakat Jawa, terutama di Kediri.
Dari sisi sejarah, layangan diyakini berasal dari Tiongkok sekitar 2.500 tahun lalu, dan digunakan untuk berbagai tujuan, termasuk pengukuran jarak dan pemantauan cuaca. Di Indonesia, layangan berkembang menjadi permainan rakyat yang juga berfungsi sebagai sarana ekspresi budaya.
Filosofi di balik layangan mencerminkan nilai-nilai kesabaran, ketahanan, dan cita-cita manusia untuk melampaui batas. Festival layangan yang masih diadakan di berbagai daerah, termasuk Kediri, menjadi salah satu daya tarik wisata budaya yang menggabungkan hiburan, seni, dan sejarah. Dengan demikian, layangan tidak hanya menghibur, tetapi juga menjadi pengingat akan kekayaan budaya dan filosofi yang patut dilestarikan oleh generasi mendatang.