Pemerintah teokratis saat ini mengupayakan pemanfaatan cerita rakyat dan lagu-lagu patriotik sebagai strategi untuk mengalihkan kemarahan publik menjadi dukungan yang lebih besar di dalam negeri. Tindakan ini mencerminkan usaha pemerintah untuk memperkuat legitimasi mereka di tengah peningkatan ketidakpuasan sosial.
Dalam konteks sosial-politik Indonesia saat ini, di mana isu-isu nasionalisme dan identitas budaya menjadi semakin relevan, langkah ini mengundang perhatian. Masyarakat yang merasakan ketidakadilan atau ketidakpuasan terhadap pemerintah seringkali tergerak oleh nilai-nilai budaya yang diangkat kembali. Oleh karena itu, pemanfaatan cerita rakyat dan lagu daerah sebagai alat mobilisasi bisa menjadi cara efektif untuk menghubungkan pemerintah dengan rakyat.
Mengadaptasi elemen budaya lokal, seperti folklore dan lagu-lagu yang mengandung unsur patriotik, seringkali mampu membangkitkan semangat kolektif. Misalnya, dalam beberapa tahun terakhir, banyak daerah di Indonesia yang menggelar acara budaya yang mengangkat kembali sejarah dan kearifan lokal. Ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki keinginan untuk terhubung dengan akar budaya mereka. Jika pemerintah melakukan hal serupa, reaksi positif dari rakyat dapat dimanfaatkan untuk mengurangi ketegangan sosial yang ada.
Namun, ada keraguan di antara masyarakat tentang niat di balik langkah pemerintah ini. Beberapa kalangan menganggap bahwa penggunaan elemen budaya bisa jadi hanya sekadar taktik untuk menutupi masalah yang lebih besar, seperti krisis ekonomi atau pelanggaran hak asasi manusia. Dalam situasi di mana banyak rakyat menghadapi kesulitan ekonomi, pertanyaan mengenai ketulusan dan efektivitas strategi ini semakin mendesak.
Penting untuk diingat bahwa meskipun meningkatkan romansa terhadap budaya lokal dapat memberikan efek positif dalam jangka pendek, hal ini tidak dapat menyelesaikan akar masalah yang dihadapi masyarakat. Harapan masyarakat Indonesia bukan hanya sekadar dibangkitkan melalui cerita dan lagu, melainkan juga melalui tindakan nyata dari pemerintah untuk menghadapi ketidakpuasan sosial dengan transparansi dan keadilan.
Melihat fenomena ini, masyarakat diharapkan dapat lebih kritis dalam menyikapi kebijakan pemerintah. Di tengah angin perubahan yang terus berhembus, masyarakat perlu terus menyuarakan aspirasinya agar suara mereka didengar dan diakomodasi. Dengan demikian, tahapan mendekatkan pemerintah kepada rakyat bukan hanya tentang narasi yang diciptakan, tetapi harus diimbangi dengan langkah-langkah nyata yang dapat membawa kesejahteraan.
Sebagai penutup, pemanfaatan budaya dalam konteks politik bisa menjadi pedang bermata dua. Jika dikelola dengan baik, hal ini bisa memperkuat ikatan antara pemerintah dan rakyat. Namun, jika dipergunakan hanya untuk kepentingan politik sesaat, maka bisa jadi akan memicu backlash dari masyarakat yang semakin cerdas dan kritis. Oleh karena itu, transparansi, keadilan, dan perhatian terhadap kebutuhan riil masyarakat merupakan hal yang mutlak bagi pemerintah dalam membangun dukungan yang berbasis pada kepercayaan.