Berita

Dua Anak Kecil Jadi Korban KDRT Ayah di Surabaya

Avatar photo
4
×

Dua Anak Kecil Jadi Korban KDRT Ayah di Surabaya

Sebarkan artikel ini

Surabaya – Dua Anak Kecil Jadi Korban KDRT, Pengasuhan Terancam

Di sebuah rumah sederhana di Kutisari Selatan, Surabaya, terungkap kisah memilukan dua anak, A (4) dan B (7), yang sehari-harinya merawat ayah mereka, BS, yang mengalami kelumpuhan. Ironisnya, alih-alih mendapatkan pengasuhan dan kasih sayang, kedua anak tersebut justru menjadi korban kekerasan fisik dari sosok yang seharusnya melindungi mereka.

Kisah tragis ini mencuat setelah Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melakukan intervensi. Selama setahun terakhir, kedua anak tersebut tidak bersekolah karena terpaksa merawat sang ayah. Fakta menyedihkan ini semakin menguat setelah diungkapkan oleh Camat Tenggilis, Wawan Windarto, yang terlibat dalam proses evakuasi kedua anak tersebut.

“Saat ini, kami berusaha menyelamatkan anak-anak ini agar mendapatkan pengasuhan yang baik, termasuk hak mereka untuk bersekolah,” ujar Wawan dalam konferensi pers yang digelar Jumat (12/9/2025). Evakuasi dilakukan dengan melibatkan berbagai instansi, seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3APPKB), Dinas Sosial (Dinsos), dan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA).

Sebagai bagian dari proses ini, BS juga dilarikan ke RS Menur untuk mendapatkan perawatan sekaligus karena diduga mengalami komplikasi kesehatan akibat terjatuh. Tindakan kekerasan terhadap anak B terungkap saat pemeriksaan kesehatan yang dilakukan oleh Kepala Puskesmas Tenggilis, dr. Heni Agustina. Ia menemukan tanda-tanda kekerasan, seperti lebam dan luka di mata B. Dengan gamblang, BS mengakui bahwa dirinya memukul anaknya menggunakan rotan saat marah.

“Dia mengaku bahwa emosi membuatnya melempar rotan yang mengenai mata anaknya. Itu jelas bukan tindakan yang bisa dianggap sepele,” paparnya.

Dari informasi yang diperoleh, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ini bukan yang pertama kali terjadi. Ketua RT 01, Sunoko, mengungkapkan bahwa ibu dari anak-anak tersebut sudah melarikan diri sepekan setelah melahirkan A. Sementara itu, anak tertua BS, BE (16), juga sudah kabur ke panti asuhan di bawah naungan gereja karena tak tahan atas kekerasan yang dialaminya.

Kini, setelah A dan B dievakuasi, mereka ditempatkan di panti asuhan yang sama dengan BE. Ketiga anak tersebut dipastikan akan kembali mendapatkan hak pendidikan melalui bantuan Dinas Pendidikan Surabaya. Kepada media, Kepala DP3APPKB Surabaya, Ida Widayati, menyatakan bahwa pemerintah akan memfasilitasi pendidikan bagi mereka, termasuk program kejar paket untuk BE yang putus sekolah.

Namun, proses evakuasi tidak berjalan mulus. BS menolak untuk melepas kedua anaknya. “Kami harus berusaha semaksimal mungkin, termasuk dengan sedikit tekanan jika diperlukan,” ungkap Ida.

Selain menangani pemulihan pendidikan, pihak pemerintah juga akan fokus pada aspek kesehatan mental ketiga anak tersebut yang telah menghadapi pengalaman traumatis. Diperlukan program pendampingan psikologis agar mereka dapat kembali berinteraksi dengan baik di masyarakat, serta menjalani proses penyembuhan dari trauma akibat kekerasan yang dialami.

Kondisi mental BS juga menjadi perhatian. Sebagai seorang ayah yang terbelenggu oleh kondisi fisik dan mental, langkah rehabilitasi perlu dilakukan agar ia tidak hanya berfungsi sebagai image ayah, tetapi bisa menjalani hidup dengan lebih baik.

Kisah A, B, dan BE menjadi cerminan bagi masyarakat, terutama tentang pentingnya kepedulian terhadap kondisi keluarga di sekitar kita. Pengawasan dan intervensi yang tepat dari pemerintah serta masyarakat dapat mencegah tragedi serupa terjadi di masa depan.