Lebih dari 60 Persen Penduduk Zambia Terancam Risiko Kesehatan Akibat Pencemaran Tambang China
Jakarta, CNN Indonesia — Lebih dari 60 persen penduduk Zambia kini berada dalam ancaman serius terkait kesehatan dan lingkungan. Hal ini menyusul insiden pencemaran besar-besaran yang diduga dilakukan oleh Sino Metals Leach Zambia Limited, anak perusahaan dari China Nonferrous Metal Mining Group, yang merilis 1,5 juta ton limbah beracun ke Sungai Kafue pada Februari 2025. Jumlah limbah ini tercatat 30 kali lebih besar dari laporan yang disampaikan oleh perusahaan.
Tumpahan limbah beracun ini telah meracuni Sungai Kafue, yang merupakan sumber air, pembangkit listrik, dan mata pencaharian bagi jutaan penduduk setempat. Aktivis lingkungan Chilekwa Mumba menyebut kejadian ini sebagai “bencana lingkungan dengan konsekuensi yang sangat menghancurkan.” Menteri Lingkungan Hidup Zambia, Collins Nzovu, juga mengakui bahwa insiden ini seharusnya dapat dicegah jika prosedur keselamatan dilaksanakan dengan tepat.
Investigasi yang dilakukan oleh perusahaan Afrika Selatan, Drizit, menemukan kadar berbahaya dari berbagai logam berat, termasuk sianida, arsenik, timbal, kadmium, kromium, tembaga, dan seng. Dari 3.500 sampel air yang diuji, enam belas dari dua puluh empat jenis logam berat melebihi ambang batas yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Para peneliti memperingatkan potensi dampak kesehatan jangka panjang, seperti kerusakan organ, kanker, dan cacat lahir. Kontaminasi telah menyebar hingga sejauh 100 kilometer ke hilir sungai, yang mengakibatkan 700 ribu orang terancam kehilangan akses air bersih.
“Sungai ini dulunya penuh kehidupan, sekarang semuanya mati—dalam semalam, sungai ini mati,” ungkap Sean Cornelius, seorang warga lokal yang terdampak. Tuntutan masyarakat pun semakin keras, terutama dari Koalisi Keadilan Lingkungan Zambia yang menganggap bahwa bencana ini menunjukkan kelalaian serius dari pihak korporasi. Mereka mendesak agar perusahaan-perusahaan yang terlibat diusut secara hukum.
Rasa marah publik meningkat setelah terungkap bahwa tambang lain milik China juga mengalami kebocoran serupa beberapa hari setelah insiden tersebut, disertai dengan upaya penutupan oleh pihak perusahaan. Para korban kini menuntut kompensasi sebesar USD 420 juta dan sedang mempersiapkan gugatan hukum. Bahkan, Amerika Serikat dan Finlandia telah mengimbau warganya untuk meninggalkan wilayah terdampak, menandakan betapa seriusnya situasi ini.
Pemimpin masyarakat sipil juga menekankan pentingnya transparansi penuh dalam laporan investigasi. “Kurangnya keterbukaan ini adalah pengkhianatan terhadap rakyat. Mereka yang bertanggung jawab harus diadili,” tegas Solomon Ngoma dari Acton Institute di Zambia.
Tragedi Sungai Kafue bukan sekadar bencana lingkungan, melainkan juga krisis tata kelola yang mendalam. Selama ini, perusahaan-perusahaan tambang asing dituding beroperasi tanpa memperhatikan keselamatan, hak-hak pekerja, dan standar lingkungan yang berlaku. Kini, rakyat Zambia menuntut akuntabilitas, kompensasi yang layak, dan reformasi sistemik agar bencana serupa tak terulang di masa depan.