Toxic Relationship: Tantangan Kesehatan Mental dan Sosial di Masyarakat
Surabaya – Hubungan asmara seharusnya dibangun atas dasar saling menghargai, dukung-mendukung, dan memberikan rasa aman. Namun, banyak pasangan yang terjebak dalam pola hubungan beracun atau toxic relationship, yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan mental dan sosial. Fenomena ini bukan sekadar masalah pribadi, tetapi juga persoalan sosial yang mempengaruhi individu dan komunitas.
Dalam wawancara dengan Luluk Dwi Kumalasari, Kepala Program Studi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), terungkap bahwa toxic relationship adalah pola hubungan yang melampaui batas normatif. Hubungan semacam ini sering kali membuat salah satu atau kedua belah pihak merasa tertekan, terintimidasi, hingga kehilangan jati diri. “Dalam hubungan yang toksik, individu dapat merasa tidak lagi menjadi diri sendiri,” ungkap Luluk, dan menunjukkan bahwa keadaan ini dapat merusak kesehatan mental.
Penyebab dan Dampak Toxic Relationship
Luluk menjelaskan bahwa penyebab toxic relationship sering kali dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi rasa tidak aman yang berlebihan, kurang percaya diri, serta ketergantungan emosional. Sementara itu, faktor eksternal bisa berupa komunikasi yang buruk, pola asuh otoriter, dan masih kuatnya budaya patriarki di masyarakat. Budaya patriarki, menurutnya, sering kali memperkuat dominasi laki-laki dalam hubungan, sehingga menciptakan ketidakadilan gender.
Dampak dari toxic relationship tidak hanya bersifat emosional, tetapi juga fisik. Korban sering mengalami stres, depresi, dan penurunan kesehatan fisik akibat lemahnya daya tahan tubuh. Secara sosial, mereka cenderung menarik diri dari lingkungan, yang mengakibatkan hilangnya kesempatan untuk menjalin hubungan sehat.
“Hubungan yang sudah kehilangan nilai kasih sayang ini umumnya dipenuhi dengan manipulasi dan dominasi. Risiko kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat meningkat dalam konteks ini,” kata Luluk menekankan pentingnya pemahaman masyarakat terhadap bahayanya toxic relationship.
Dampak Luas pada Keluarga dan Komunitas
Tidak hanya pasangan yang terpengaruh, toxic relationship memiliki dampak yang lebih luas, termasuk terhadap keluarga dan komunitas. Dalam keluarga, pola hubungan toksik dapat menciptakan interaksi negatif yang merusak keharmonisan, serta meninggalkan luka psikologis bagi anak-anak. Dalam komunitas, hubungan yang tidak sehat ini menghambat terciptanya ruang sosial yang mendukung. Sebaliknya, komunitas yang seharusnya menjadi tempat aman, bisa berubah menjadi lingkungan penuh konflik.
Pola toxic relationship dapat muncul di berbagai jenjang usia, setiap tahap membawa ciri khasnya sendiri. Pada remaja, fenomena ini biasanya muncul dalam bentuk posesif atau manipulasi emosional, sedangkan pada pasangan menikah, dapat berkembang menjadi dominasi atau kontrol berlebihan yang berpotensi KDRT.
Langkah Pencegahan dan Keterlibatan Lingkungan
Untuk mencegah toxic relationship, Luluk menyarankan perlunya kesadaran individu dan dukungan dari lingkungan sosial. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain: mengenali tanda-tanda hubungan toksik, memilih lingkungan pertemanan yang positif, serta membatasi harapan berlebihan terhadap pasangan. Luluk juga menekankan pentingnya konsultasi dengan ahli bila merasa terjebak dalam hubungan yang berbahaya.
Lingkungan sosial memiliki peranan krusial dalam mengatasi fenomena ini. Dukungan dari keluarga, teman, dan komunitas yang suportif dapat menjadi sistem pendukung bagi individu yang terpuruk. “Kewajiban menciptakan lingkungan positif adalah tanggung jawab bersama untuk mencegah berkembangnya toxic relationship,” tegas Luluk, mencerminkan pentingnya kolaborasi masyarakat dalam menciptakan iklim sosial yang lebih sehat.
Peningkatan kesadaran dan perilaku preventif terhadap toxic relationship adalah langkah penting untuk melindungi kesehatan mental dan sosial masyarakat Indonesia.