Internasional

Sri Lanka Tolak Seruan PBB untuk Penyelidikan Internasional Kejahatan Perang

Avatar photo
4
×

Sri Lanka Tolak Seruan PBB untuk Penyelidikan Internasional Kejahatan Perang

Sebarkan artikel ini

Pemerintah Sri Lanka Tolak Penyelidikan PBB atas Dugaan Kejahatan Perang

Pemerintah Sri Lanka menolak seruan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melakukan penyelidikan internasional mengenai dugaan kejahatan perang yang terjadi selama konflik etnis, yang telah merenggut lebih dari 100.000 jiwa. Penolakan ini disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Sri Lanka, Vijitha Herath, dalam pertemuan Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang berlangsung di Jenewa pada Senin, 8 September.

Herath menegaskan bahwa pemerintahan di bawah Presiden Anura Kumara Dissanayake, yang berkuasa sejak setahun lalu, berkomitmen untuk mendorong rekonsiliasi etnis dan menjaga independensi sistem peradilan di negara tersebut. “Pemerintah menentang segala bentuk mekanisme eksternal yang dipaksakan kepada kami, termasuk Proyek Akuntabilitas Sri Lanka, yang justru dapat memperburuk proses rekonsiliasi nasional yang sedang kami jalani,” ujar Herath, yang dikutip oleh AFP.

Penegasan ini muncul di tengah sorotan mengenai tuduhan bahwa pasukan keamanan Sri Lanka telah membunuh setidaknya 40.000 warga sipil dari minoritas Tamil pada akhir perang, yang berakhir pada Mei 2009. Meskipun demikian, Herath meminta Dewan untuk mengakui kemajuan yang telah dicapai di bawah pemerintahan baru, serta komitmen mereka terhadap hak-hak semua komunitas di Sri Lanka, yang dikenal dengan kondisi etnisnya yang kompleks.

Dalam tanggapannya, Kepala Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Volker Turk, menyerukan sanksi terhadap individu-individu yang secara kredibel dituduh melakukan kejahatan perang. Ia meminta agar pemerintah lain juga mengadili para pelaku kejahatan internasional yang dilakukan di Sri Lanka, berdasarkan prinsip yurisdiksi universal. “Saya juga mendesak negara-negara anggota untuk mendukung Proyek Akuntabilitas meskipun ada penolakan dari Sri Lanka,” ungkap Turk.

Konflik di Sri Lanka telah berlangsung selama 37 tahun dan berakhir dengan penghancuran kepemimpinan Macan Tamil pada 2009. Selama periode tersebut, berbagai pelanggaran hak asasi manusia terjadi, baik oleh pihak pemerintah maupun kelompok pemberontak. Meskipun banyak bukti yang menunjukkan pelanggaran yang serius, pemerintah Sri Lanka sering menolak untuk membiarkan penyelidikan independen terhadap dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh pasukannya.

Hingga saat ini, pemerintah Sri Lanka belum mengusulkan mekanisme domestik yang kredibel untuk menyelidiki tuduhan tersebut. Ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis hak asasi manusia dan komunitas internasional mengenai ketidakmampuan pemerintah untuk menangani masalah hak asasi manusia secara transparan dan akuntabel.

Dengan situasi yang semakin memanas, perhatian dunia kini tertuju pada bagaimana pemerintah Sri Lanka akan bereaksi terhadap tekanan internasional dan apakah mereka akan memfasilitasi proses rekonsiliasi yang adil dan komprehensif bagi seluruh masyarakatnya.