Bilik Nalar

Hari Keadilan Internasional: Sebuah Renungan

Avatar photo
16
×

Hari Keadilan Internasional: Sebuah Renungan

Sebarkan artikel ini
Pengadilan pidana internasional 169

Setiap tanggal 17 Juli, dunia memperingati Hari Keadilan Internasional, sebuah momen yang didedikasikan untuk merenungkan pentingnya keadilan dalam membangun tatanan global yang lebih manusiawi. Tanggal ini dipilih untuk memperingati adopsi Statuta Roma pada tahun 1998, yang menjadi dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC). Statuta Roma menandai komitmen kolektif untuk menegakkan keadilan atas kejahatan-kejahatan paling berat seperti genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, di tengah peringatan ini, refleksi yang jujur mengungkap bahwa keadilan internasional bukanlah sekadar ideal hukum, melainkan sebuah perjuangan yang terus-menerus dihadapkan pada kompleksitas politik, budaya, dan moral. Tulisan ini mengajak kita untuk menyelami makna keadilan internasional, merenungkan capaiannya, dan menghadapi tantangan yang masih menghalangi cita-citanya.

Keadilan internasional lahir dari pengakuan bahwa kejahatan tertentu memiliki dampak yang melampaui batas-batas negara, menuntut tanggapan kolektif dari komunitas global. Mahkamah Pidana Internasional, yang mulai beroperasi pada tahun 2002, menjadi simbol harapan untuk mengakhiri impunitas bagi pelaku kejahatan berat. Menurut laporan ICC tahun 2023, mahkamah ini telah menangani 31 kasus dengan lebih dari 50 terdakwa, termasuk kasus-kasus dari konflik di Uganda, Republik Demokratik Kongo, dan Sudan. Keberhasilan ini, meskipun terbatas, menunjukkan bahwa mekanisme hukum internasional dapat membawa pelaku kejahatan ke meja peradilan, memberikan suara bagi korban, dan menegaskan bahwa tidak ada individu yang kebal dari hukum. Namun, keadilan bukanlah sekadar vonis pengadilan. Ia juga tentang pengakuan atas penderitaan, pemulihan martabat korban, dan pencegahan agar sejarah kelam tidak berulang.

Di balik capaian ini, keadilan internasional menghadapi kritik yang tidak bisa diabaikan. Salah satu tuduhan yang sering muncul adalah bias geografis dalam operasi ICC. Hingga tahun 2024, mayoritas kasus yang ditangani ICC berfokus pada konflik di Afrika, memicu persepsi bahwa keadilan internasional lebih mudah menargetkan negara-negara dengan kekuatan politik yang lemah. Menurut analisis dalam Journal of International Criminal Justice (2023), dari 23 situasi yang diselidiki ICC, 10 berasal dari Afrika, sementara konflik di wilayah lain seperti Timur Tengah atau Asia Tenggara sering kali luput dari perhatian karena tekanan politik dari negara-negara besar. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah keadilan internasional benar-benar universal, atau apakah ia masih terjebak dalam dinamika kekuasaan global? Refleksi ini mengajak kita untuk melihat keadilan tidak hanya sebagai prosedur hukum, tetapi juga sebagai cerminan dari keseimbangan kekuatan di dunia.

Lebih jauh, keadilan internasional sering kali berhadapan dengan dilema antara hukum dan perdamaian. Dalam beberapa kasus, mengejar keadilan dapat memperumit upaya rekonsiliasi. Misalnya, ketika ICC mengeluarkan surat perintah penahanan untuk pemimpin tertentu, seperti yang terjadi pada kasus Omar al-Bashir dari Sudan pada tahun 2009, proses perdamaian lokal sering kali terhambat karena para aktor politik enggan bernegosiasi di bawah ancaman hukum. Studi dalam International Studies Quarterly (2022) menunjukkan bahwa dalam beberapa konflik, komunitas lokal lebih memprioritaskan penyelesaian damai dan reintegrasi daripada pengadilan formal. Ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana keadilan dapat dirancang agar tidak hanya menghukum, tetapi juga menyembuhkan luka masyarakat yang terpecah.

Peringatan Hari Keadilan Internasional juga mengajak kita untuk merenungkan peran individu dan komunitas dalam menegakkan keadilan. Keadilan tidak hanya menjadi tanggung jawab lembaga seperti ICC, tetapi juga bergantung pada kesadaran kolektif untuk menolak ketidakadilan di sekitar kita. Penelitian oleh Amnesty International (2024) menunjukkan bahwa advokasi masyarakat sipil telah memainkan peran kunci dalam mendorong penyelidikan atas pelanggaran hak asasi manusia di negara-negara seperti Myanmar dan Ukraina. Di era digital, platform media sosial seperti X telah menjadi alat penting bagi aktivis untuk menyebarkan kesadaran tentang ketidakadilan, meskipun tantangan seperti misinformasi dan polarisasi tetap ada. Keadilan internasional, dengan demikian, bukanlah sekadar proyek hukum, tetapi juga gerakan sosial yang membutuhkan partisipasi aktif dari setiap individu.

Namun, refleksi ini tidak lengkap tanpa mempertimbangkan korban, yang sering kali menjadi pusat dari narasi keadilan. Bagi mereka yang telah kehilangan keluarga, rumah, atau martabat akibat kejahatan perang atau genosida, keadilan bukanlah sekadar hukuman bagi pelaku, tetapi juga tentang pengakuan atas penderitaan mereka. Program reparasi ICC, yang mencakup kompensasi finansial dan rehabilitasi psikologis, telah memberikan harapan bagi ribuan korban di wilayah seperti Republik Demokratik Kongo, menurut laporan tahunan ICC (2023). Namun, dana untuk reparasi ini sering kali terbatas, dan banyak korban masih menunggu keadilan yang menyeluruh. Ini mengingatkan kita bahwa keadilan sejati tidak hanya diukur dari jumlah terdakwa yang dihukum, tetapi juga dari seberapa jauh dunia mampu memulihkan kehidupan mereka yang telah dirampas haknya.

Hari Keadilan Internasional juga mengajak kita untuk melihat ke depan, ke dunia yang lebih adil. Kemajuan teknologi, seperti kecerdasan buatan dan analisis data, telah mulai digunakan untuk mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia, misalnya melalui analisis citra satelit untuk mendeteksi kuburan massal, sebagaimana dilaporkan oleh Human Rights Watch (2024). Namun, teknologi ini juga membawa tantangan baru, seperti potensi penyalahgunaan data atau pengawasan yang melanggar privasi. Keadilan internasional di masa depan harus mampu menyeimbangkan inovasi dengan prinsip etika, memastikan bahwa teknologi melayani kemanusiaan, bukan sebaliknya.

Pada akhirnya, Hari Keadilan Internasional adalah pengingat bahwa keadilan adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan akhir. Setiap langkah menuju keadilan, baik melalui putusan pengadilan, advokasi masyarakat, atau pengakuan atas penderitaan korban, adalah bagian dari usaha kolektif untuk menciptakan dunia yang lebih manusiawi. Namun, perjalanan ini penuh dengan pertanyaan sulit: bagaimana kita mendefinisikan keadilan di tengah keragaman budaya dan kepentingan politik? Bagaimana kita memastikan bahwa keadilan tidak hanya menjadi alat bagi yang kuat, tetapi juga suara bagi yang lemah? Refleksi ini tidak memberikan jawaban pasti, tetapi mengajak kita untuk terus bertanya, mendengarkan, dan bertindak. Keadilan internasional, dalam segala ketidaksempurnaannya, adalah cerminan dari harapan dan tanggung jawab kita bersama sebagai umat manusia.