Nasional

Vulkan di Cincin Api Pasifik Meningkat, Ahli Waspada

Avatar photo
15
×

Vulkan di Cincin Api Pasifik Meningkat, Ahli Waspada

Sebarkan artikel ini
68560072cc877

Aktivitas vulkanik di Cincin Api Pasifik menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, menandai salah satu periode dengan risiko geologi yang semakin meningkat. Fenomena ini bukan sekadar isu lokal, melainkan bagian dari dinamika tektonik global yang memicu kekhawatiran akan potensi bencana besar, termasuk tsunami dan erupsi destruktif di masa mendatang. Di Indonesia, yang berada di garis depan aktivitas vulkanik, peningkatan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang kesiapsiagaan dan pengawasan yang selama ini dilakukan.

Sepanjang tahun 2023 hingga 2025, sejumlah gunung berapi di Indonesia menunjukkan aktivitas yang meningkat secara signifikan. Gunung Anak Krakatau, misalnya, yang dikenal sebagai salah satu gunung api paling aktif di Selat Sunda, mengalami lonjakan erupsi strombolian dan emisi abu hingga 3 km, memaksa peringatan kapal-kapal di sekitar perairan tersebut. Status waspada tetap dipertahankan, meskipun belum ada ancaman langsung terhadap pemukiman penduduk. Sementara itu, Gunung Sinabung di Sumatera Utara, yang sempat lama tidak aktif, kembali menunjukkan tanda-tanda aktivitas dengan kolom abu mencapai 7 km dan guguran lava yang terus dipantau ketat oleh para ahli.

Lebih jauh lagi, Gunung Ibu di Maluku Utara dan Lewotobi Laki-Laki di Flores menunjukkan peningkatan aktivitas yang cukup mengkhawatirkan. Pada 2024, Gunung Ibu mengalami erupsi besar dengan kolom abu setinggi 5 km dan status siaga yang diberlakukan. Di Flores, erupsi besar dengan kolom abu hingga 10 km menyebabkan evakuasi massal warga di radius 7 km dari gunung tersebut. Fenomena ini menegaskan bahwa aktivitas vulkanik tidak hanya meningkat, tetapi juga berpotensi memunculkan bencana yang lebih besar jika tidak diantisipasi secara serius.

Peningkatan aktivitas ini tak lepas dari dinamika tektonik di kawasan Cincin Api Pasifik, di mana proses subduksi lempeng Indo-Australia di bawah Eurasia memicu magma yang mengumpul dan akhirnya meletus. Menurut para ilmuwan, fenomena ini bukan hal yang aneh, tetapi menunjukkan bahwa kerak bumi sedang bergerak dengan intensitas yang tinggi. Tekanan yang terakumulasi selama bertahun-tahun di zona subduksi, yang dikenal sebagai seismic gap, kini mulai menunjukkan tanda-tanda pelepasan energi yang besar.

Namun, meskipun risiko meningkat, para ahli menegaskan bahwa saat ini belum ada gunung berapi yang mengancam langsung keberlangsungan wilayah permukiman. Teknologi pemantauan modern, termasuk citra satelit, sensor gas, dan seismograf, terus digunakan untuk mendeteksi tanda-tanda awal letusan. Kendati demikian, pengalaman masa lalu seperti letusan Kilauea 2018 dan potensi lahar dari gunung seperti Rainier memperlihatkan bahwa kewaspadaan tetap harus menjadi prioritas, mengingat ketidakpastian dan kekuatan alam yang sulit diprediksi.

Pertanyaan besar yang muncul adalah sejauh mana kesiapan Indonesia dalam menghadapi potensi bencana vulkanik yang semakin sering dan dahsyat ini. Mengingat letusan besar memiliki dampak luas, mulai dari kerusakan infrastruktur hingga korban jiwa, langkah antisipasi dan edukasi masyarakat harus menjadi fokus utama. Jangan sampai kekhawatiran ini hanya berhenti pada status siaga, melainkan menjadi momentum untuk memperkuat sistem mitigasi bencana secara menyeluruh. Sebab, dalam menghadapi kekuatan alam, kesiapsiagaan adalah satu-satunya perlindungan yang kita miliki.