Dokter Perempuan RSUD BDH Surabaya Jadi Korban Penganiayaan oleh Keluarga Pasien
Surabaya – Sebuah insiden tragis terjadi di RSUD Bhakti Dharma Husada (BDH) Surabaya, di mana seorang dokter perempuan, dr. Faradina, menjadi korban penganiayaan oleh seorang pasien setelah menjalani operasi. Peristiwa ini menyoroti tingkat kekerasan terhadap tenaga kesehatan yang semakin mengkhawatirkan di Indonesia.
Kejadian tersebut berlangsung pada Jumat, 25 April 2025. Usai operasi, pasien yang bernama Norliyanti merasa keluhan yang disampaikannya tidak ditanggapi dengan baik oleh dokter. Alih-alih pulang untuk beristirahat, Norliyanti kembali ke rumah sakit dengan membawa batu gragal, dan langsung menyerang dokter Faradina. Akibat serangan ini, Faradina mengalami luka berat dan harus mendapatkan perawatan intensif.
Kasus ini sudah dilaporkan ke pihak kepolisian dan saat ini tengah dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Kejadian ini menarik perhatian luas, tidak hanya dari masyarakat, tetapi juga dari berbagai pihak, termasuk pemerintah kota dan organisasi profesi.
Arif Setiawan, Plt Direktur RSUD BDH Surabaya, menyatakan bahwa Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, memberikan perhatian khusus terhadap kasus ini. “Wali Kota menegaskan bahwa setiap dokter yang menjalankan tugasnya harus dilindungi. Pemkot Surabaya berkomitmen mendampingi sepenuhnya perkara ini,” ujarnya.
Dia juga berharap agar aparat penegak hukum memberikan hukuman yang setimpal atas tindakan kekerasan ini. “Kami meminta Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum untuk menangani kasus ini dengan serius dan memberikan sanksi sesuai ketentuan hukum demi keadilan bagi dr. Faradina,” tandasnya.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) turut mengecam kejadian ini. Agus Ariyanto, anggota Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota, menegaskan bahwa pihaknya mengutuk keras tindakan kekerasan terhadap dokter atau tenaga kesehatan lainnya. “Kekerasan bukan solusi untuk menyelesaikan masalah,” ujarnya. PB IDI mendorong agar kasus ini diselesaikan secara hukum untuk memenuhi rasa keadilan.
Dari sisi pemulihan, Dedi Ismiranto, anggota BHP2A IDI Jawa Timur, menyatakan dukungan penuh untuk dr. Faradina. Dia juga meminta agar perlindungan hukum dan keamanan untuk tenaga kesehatan di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan ditingkatkan. Hal ini penting untuk mencegah terulangnya insiden serupa di masa depan.
Rudy Sapoelete, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Ahli Hukum Kesehatan dan Kedokteran Indonesia (PERDAHUKKI), menambahkan bahwa kekerasan tidak hanya melukai korban secara fisik, tetapi juga mencederai martabat profesi kedokteran. Dia menekankan pentingnya proses hukum yang tegas terhadap pelaku penganiayaan agar terjadi efek jera. “Kami berharap masyarakat memahami bahwa dokter bekerja berdasarkan standar profesi, etika, dan disiplin ilmu,” ungkapnya.
Setiap peristiwa kekerasan terhadap tenaga kesehatan seperti ini menggambarkan kendala yang dihadapi industri kesehatan di Indonesia. Serangan terhadap tenaga medis tidak hanya berdampak pada korban tetapi juga menimbulkan ketakutan di kalangan tenaga kesehatan yang seharusnya fokus memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Penegakan hukum yang tegas menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi para profesional medis dan memastikan mereka dapat bekerja dengan tenang, demi kesehatan masyarakat yang lebih baik.