Berita

Sri Mulyani Tegaskan Video ‘Guru Beban Negara’ adalah Hoaks, Tanggapan Masyarakat Memanas

Avatar photo
5
×

Sri Mulyani Tegaskan Video ‘Guru Beban Negara’ adalah Hoaks, Tanggapan Masyarakat Memanas

Sebarkan artikel ini

Menkeu Sri Mulyani Tanggapi Video Hoaks: “Guru Tidak Sebagai Beban Negara”

SURABAYA – Viralnya video yang menunjukkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut guru sebagai beban negara telah menjadi buah bibir di media sosial. Meskipun Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah memastikan bahwa video tersebut adalah hoaks, pernyataan ini menuai berbagai reaksi di kalangan masyarakat dan menjadi perbincangan hangat.

Video yang dimaksud berawal dari pidato Sri Mulyani saat Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 7 Agustus 2025. Dalam pidatonya, Sri Mulyani mengakui banyaknya keluhan mengenai rendahnya gaji guru dan dosen di Indonesia yang menjadi tantangan bagi keuangan negara.

“Banyak di media sosial saya selalu mengatakan, menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya yang tidak besar. Ini salah satu tantangan bagi keuangan negara,” ujar Sri Mulyani di depan para peserta di Sabuga, Bandung.

Lebih lanjut, Sri Mulyani mempertanyakan apakah seluruh pembiayaan untuk guru dan dosen harus ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau adakah partisipasi masyarakat yang dapat membantu. Meski mengangkat isu penting, pernyataan Sri Mulyani dianggap oleh sebagian pihak sebagai kurang empatik dan seolah-olah melempar tanggung jawab.

Sri Lestari, pakar bahasa dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, menjelaskan bahwa konteks asli pernyataan Sri Mulyani seharusnya dilihat dengan seksama. Menurutnya, keresahan terhadap gaji guru dan dosen adalah refleksi tentang keterlibatan masyarakat dalam sistem pendidikan. Namun, pengeditan video dengan teknologi AI atau deepfake yang menghasilkan ungkapan ‘guru beban negara’ telah mengubah makna menjadi lebih emosional.

“Secara kritis, makna kedua ungkapan mungkin sama, tetapi frase ‘beban negara’ memiliki daya tarik emosional yang lebih kuat. Perlu diingat, pernyataan asli merupakan ajakan untuk keluar dari polemik,” jelas Sri Lestari.

Munculnya fenomena deepfake dalam konteks ini juga dikhawatirkan memicu perpecahan dan kebingungan di masyarakat. Sri Lestari menegaskan bahwa ujaran yang dipelintir dengan teknologi semacam itu dapat mengikis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

“Sangat berbahaya jika kata-kata disalahartikan untuk membangun narasi negatif. Ini dapat memperburuk prasangka buruk terhadap pemerintah dan mengganggu stabilitas negara,” tambahnya.

Menanggapi situasi ini, penting bagi pemerintah untuk melakukan langkah-langkah pencegahan guna meredam maraknya penyebaran konten deepfake yang dapat menimbulkan kegaduhan. “Klarifikasi sangat penting, namun harus diimbangi dengan program literasi digital yang baik,” tegasnya.

Sudut pandang lokal menunjukkan bahwa kejadian ini tidak hanya menunjukkan tantangan dalam sektor pendidikan tetapi juga menggarisbawahi pentingnya komunikasi yang jelas antara pemerintah dan masyarakat. Dalam konteks ini, perlunya memahami informasi secara utuh sangat penting, terutama di era informasi yang sangat cepat seperti saat ini.

Sebagai penutup, kasus ini menjadi pengingat bagi semua pihak untuk tetap kritis dan teliti dalam menyerap informasi, serta memastikan bahwa kita tidak terjebak dalam narasi yang berasal dari sumber yang tidak dapat dipercaya.