Internasional

America Party: Elon Musk, Suara yang Melampaui Mesin

Avatar photo
10
×

America Party: Elon Musk, Suara yang Melampaui Mesin

Sebarkan artikel ini

Elon Musk tidak pernah benar-benar berjalan kaki ke Gedung Putih. Namun, langkah-langkahnya terdengar hingga ke lorong-lorong kekuasaan Amerika, bergema lewat pulsa digital dan kegaduhan bursa saham. Pada 5 Juli 2025, di tengah riuh gaduh pesta kemerdekaan dan aroma jagung bakar di pinggir jalan, sebuah kabar mengalir deras dari platform X—dulu orang menyebutnya Twitter. Musk, pria yang pernah bercita-cita pergi ke Mars, kini memilih orbit baru: mendirikan America Party.

Ia menulis singkat: “Saatnya memberi kembali kebebasan kepada Anda.” Pesan itu membelah lini masa, di-retweet satu juta kali sebelum ayam jantan sempat berkokok dua kali. Amerika, negeri dua partai yang saling bersilang seperti rel kereta, tiba-tiba mendapat jalur ketiga yang ditarik tangan seseorang di luar peta lama politik. Bukan hanya rakyat jelata yang terperangah. Mark Cuban, Anthony Scaramucci, bahkan para analis di lantai bursa Wall Street, semuanya menahan napas. Ini bukan hanya urusan suara, ini tentang arah angin baru yang menggoyang pohon demokrasi.

Apa yang membuat Musk, sang teknokrat—atau, dalam kata Hannah Arendt, ‘engineer of imagination’—melompat ke rawa politik yang sering kali menenggelamkan para pemula? Jawabannya mungkin bisa dicari di balik kekesalannya pada Donald Trump dan “One Big Beautiful Bill”—sebutan satir untuk RUU pajak dan belanja besar-besaran yang menurut Musk, hanya memperdalam jurang utang. Alih-alih bergulat di senjakala algoritma dan kecerdasan buatan, ia justru memilih menggugat sistem dua partai yang menurutnya, kini telah bersalin rupa menjadi “uniparty”. Dunia, pikir Musk, terlalu mahal jika hanya dikuasai dua warna.

Survei di X, yang oleh para sosiolog disebut “katedral kebisingan”, membuktikan bahwa sekitar 65 persen dari 1,2 juta responden mendukung pendirian partai baru. Tentu saja, survei daring mudah dimanipulasi. Namun, suara digital kini tak kalah sahih dibandingkan suara di bilik suara. Musk menatap ke depan: menargetkan kursi-kursi strategis di kongres dan senat, meski para pakar pemilu seperti Brett Kappel memperingatkan: “Medan ini penuh ranjau administratif. Perlu ratusan juta dolar hanya untuk menembus akses surat suara negara bagian.”

Trump tidak tinggal diam. Dari Truth Social, ia menyindir Musk dengan gaya lama: “Partai ketiga hanya akan menimbulkan kekacauan.” Tentu, sejarah Amerika mencatat jejak partai-partai alternatif yang terperosok dalam lumpur birokrasi. Ross Perot pernah mencoba, Michael Bloomberg nyaris. Namun, ada satu yang berbeda: para pemilih kini letih dan galau. Survei Gallup mencatat, 58 persen warga Amerika berharap pada alternatif ketiga. Mereka bukan mengidamkan malaikat penyelamat, melainkan sekadar ingin kursi lebih panjang agar bisa duduk tanpa harus berdempetan.

Saham Tesla langsung anjlok 6,8 persen begitu berita ini viral. Di dunia Musk, volatilitas harga selalu menyertai keputusan besar, seperti gelombang elektromagnetik yang tak pernah tenang. Ia tahu resiko ini, seperti setiap penjelajah yang paham bahwa tidak semua peta adalah navigasi.

Di ruang-ruang pertemuan, Mark Cuban menyebut langkah ini “strategi cerdas”—meski mungkin juga taruhan besar. Partai America belum mendaftar di Federal Election Commission. Infrastruktur, dana, tim, dan basis suara belum terbukti. Namun, sejarah tak pernah menunggu kesiapan; ia bergerak bersama hasrat dan kadang kegilaan.

Pada akhirnya, pembentukan America Party adalah cerita tentang seseorang yang jenuh menjadi penonton sirkus, lalu memutuskan ikut bermain di tengah ring. Mungkin bukan kemenangan yang dikejar Musk, melainkan ruang untuk bicara dan didengar, melampaui suara mesin dan kerumunan algoritma.

Sementara Amerika tetap berputar dalam siklusnya yang letih, Musk dan partainya adalah anomali. Suara yang kadang dianggap sumbang, kadang dianggap jenius, tetapi selalu berhasil membuat orang menoleh—meski hanya untuk bertanya: “Akan kemana demokrasi ini dibawa?