Internasional

Pemilu Myanmar Dijadwalkan 28 Desember 2025 di Tengah Krisis Politik dan Konflik.

Avatar photo
4
×

Pemilu Myanmar Dijadwalkan 28 Desember 2025 di Tengah Krisis Politik dan Konflik.

Sebarkan artikel ini

Pemilu Pertama di Myanmar Sejak Kudeta Militer Diumumkan untuk 28 Desember 2025

Junta militer Myanmar mengumumkan bahwa pemilihan umum (pemilu) akan diselenggarakan pada 28 Desember 2025. Hal ini disampaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Myanmar dalam pernyataannya pada Senin (18/8). Mereka menyebut pemilu ini sebagai tahap pertama pemilihan umum demokratis multi-partai untuk semua parlemen, dengan rincian lebih lanjut mengenai jadwal pemilihan susulan yang akan diumumkan kemudian.

Sejak kudeta yang terjadi pada Februari 2021, di mana pemerintahan demokratis yang dipimpin Aung San Suu Kyi digulingkan dengan tuduhan kecurangan dalam pemilu, Myanmar telah terjebak dalam konflik berkepanjangan. Kudeta ini memicu ketidakpuasan luas di berbagai wilayah negara, yang kini sebagian besar tidak berada di bawah kendali militer. Berbagai kelompok gerilyawan pro-demokrasi dan organisasi etnis bersenjata berupaya menghalangi pelaksanaan pemilu di daerah mereka.

Perang saudara yang berkecamuk di Myanmar telah menyebabkan ribuan korban jiwa dan memaksa lebih dari separuh populasi negara tersebut hidup dalam kemiskinan. Lebih dari 3,5 juta orang kini terpaksa mengungsi akibat konflik yang berkepanjangan ini. Di tengah situasi yang genting, junta militer berupaya menawarkan insentif berupa uang tunai kepada pejuang oposisi yang bersedia meletakkan senjata sebelum pemungutan suara.

Namun, Aung San Suu Kyi tetap berada di balik jeruji besi, dan banyak anggota parlemen dari partai oposisi yang digulingkan memilih untuk memboikot pemilu ini. Sejumlah pakar menilai bahwa pemilu yang direncanakan bukanlah langkah yang nyata untuk demokrasi, melainkan “sebuah kecurangan” yang dirancang untuk memperbaiki citra junta militer di mata masyarakat dunia.

Min Aung Hlaing, pemimpin junta militer, saat ini menjabat sebagai penjabat presiden sekaligus panglima angkatan bersenjata. Para pengamat politik memperkirakan bahwa pemilu tersebut akan memperkuat kekuasaan Min Aung Hlaing, terlepas dari siapa yang akan terpilih sebagai presiden. Sejumlah analis juga menyoroti bahwa pemungutan suara ini berpotensi memperparah perpecahan di antara kelompok-kelompok oposisi yang sudah terfragmentasi, saat mereka mempertimbangkan untuk berpartisipasi dalam pemilu tersebut.

Dengan latar belakang situasi yang kompleks dan konflik berkepanjangan, pemilu yang direncanakan ini mencerminkan tantangan besar bagi Myanmar dalam upayanya menuju stabilitas politik dan pemulihan dari dampak kudeta. Sebuah langkah kontroversial dalam pencarian solusi, namun di saat yang sama, banyak yang meragukan kelayakan dan keadilan dari proses electoral yang akan dilaksanakan.

Krisis kemanusiaan dan ketidakpastian politik di Myanmar masih jauh dari resolusi, dan pemilu mendatang justru menambah lapisan kesulitan dalam upaya masyarakat untuk meraih kebebasan dan demokrasi yang hakiki.