Menteri Agama Serahkan Kasus Haji ke KPK
Jakarta – Menteri Agama, Nasaruddin Umar, memberikan tanggapan mengenai penggeledahan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kantor Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU). Dia menegaskan bahwa pihaknya menyerahkan sepenuhnya proses penyidikan kepada KPK dan menegaskan komitmen untuk memberantas praktik korupsi di kementerian yang dipimpinnya.
“Kita serahkan ke KPK,” kata Nasaruddin di Jakarta, Sabtu. Ketika ditanya tentang upaya pembersihan praktik korupsi di kementeriannya, ia menyatakan, “Insya Allah, Insya Allah (bersih-bersih).”
KPK melakukan penggeledahan terhadap Ditjen PHU terkait dengan dugaan korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2023-2024. Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyampaikan bahwa selama penggeledahan, tim KPK telah menyita sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik.
Budi juga memberikan apresiasi kepada Kementerian Agama yang dianggap kooperatif selama proses tersebut. “Kami berterima kasih atas bantuan dari pihak Kemenag,” ujarnya.
Pengusutan kasus ini dimulai setelah KPK menggelar pemeriksaan terhadap mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, pada 7 Agustus 2025. Saat itu, KPK juga mengkomunikasikan dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk menghitung kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari praktik tersebut.
Pada 11 Agustus 2025, KPK mengumumkan bahwa kerugian negara mencapai lebih dari Rp1 triliun. Bertepatan dengan itu, KPK juga mencegah tiga orang, termasuk mantan Menag, untuk bepergian ke luar negeri.
Kasus ini tidak hanya diusut oleh KPK, tetapi juga mendapat perhatian dari Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR RI, yang mengungkap kejanggalan dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024. Salah satu isu utama yang disorot oleh pansus adalah pembagian kuota haji dari alokasi tambahan 20.000 yang diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi. Kementerian Agama membagi kuota itu secara tidak proporsional, yaitu 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus, yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang menyatakan bahwa kuota haji khusus hanya sebesar 8 persen, sedangkan 92 persen dialokasikan untuk kuota haji reguler.
Penyidikan ini menjadi sorotan masyarakat, dan diharapkan dapat memberikan keadilan serta transparansi dalam pengelolaan ibadah haji, yang merupakan salah satu urusan penting bagi umat Islam di Indonesia. Rakyat menaruh harapan agar lembaga penegak hukum dapat membersihkan praktik penyimpangan dan memberikan kepastian hukum di negara ini.