Internasional

Penerbangan Deportasi ICE Melonjak di Era Trump, Publik Sulit Lacak Gerakan Tahanan

Avatar photo
4
×

Penerbangan Deportasi ICE Melonjak di Era Trump, Publik Sulit Lacak Gerakan Tahanan

Sebarkan artikel ini

Penerbangan Deportasi AS Tercatat Naik Drastis di Bawah Pemerintahan Trump

Jakarta, CNN Indonesia – Penerbangan deportasi yang dioperasikan oleh Otoritas Imigrasi dan Bea Cukai Amerika Serikat (ICE) mengalami lonjakan signifikan di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump. Sejak dilantik pada 20 Januari 2025 hingga awal Agustus, lebih dari 90% penerbangan deportasi diarahkan ke negara-negara di Amerika Latin dan Karibia, seperti tertuang dalam data terbaru yang dipublikasikan oleh kelompok advokasi imigran, Witness at the Border.

Guatemala mencatat sebagai tujuan deportasi terbanyak, diikuti oleh Honduras, Meksiko, dan El Salvador. Secara keseluruhan, ICE telah melakukan penerbangan deportasi ke 62 negara berbeda. Dari jumlah tersebut, 955 penerbangan ditujukan ke kawasan Amerika Latin dan Karibia, sementara 57 penerbangan menuju Afrika dan 22 penerbangan ke Asia. Penerbangan deportasi ini sebagian besar dioperasikan oleh perusahaan charter swasta dan satu maskapai komersial yang menjadi subkontraktor ICE, dengan persentase kecil menggunakan pesawat militer.

Di samping penerbangan internasional, ICE juga kuat dalam mengoperasikan “domestic shuffle flights”, yaitu penerbangan antarbandara di dalam AS untuk memindahkan para tahanan antar pusat detensi. Data menunjukkan bahwa pada Juli lalu, terjadi 207 penerbangan deportasi internasional, namun jumlah penerbangan domestik mencapai 727, angka tertinggi yang tercatat sejak pemantauan dimulai pada 2020.

Namun, pola pelacakan penerbangan ICE semakin sulit diikuti oleh publik. Sejak bulan Maret, para operator penerbangan mulai meminta penghapusan nomor ekor pesawat dari situs pelacak penerbangan publik, memanfaatkan aturan baru yang diterbitkan oleh Badan Penerbangan Federal (FAA). Kelompok advokasi La Resistencia menemukan bahwa ICE mengganti nama panggilan lalu lintas udara mereka menjadi “Tyson”, yang merupakan kode yang pernah digunakan oleh Donald Trump untuk pesawat pribadinya setelah terpilih sebagai presiden pada tahun 2016.

Langkah-langkah tersebut menyebabkan kesulitan bagi keluarga yang ingin mengetahui keberadaan anggota mereka yang dideportasi. “Mereka seperti menghilang begitu saja,” ujar Guadalupe Gonzalez, juru bicara La Resistencia, menyoroti dampak non-transparansi ini terhadap keluarga imigran.

Hingga berita ini disusun, Departemen Keamanan Dalam Negeri AS (DHS) dan ICE belum memberikan keterangan resmi terkait alasan di balik penghapusan identitas penerbangan deportasi tersebut. Situasi ini mencerminkan peningkatan ketegangan di kalangan komunitas imigran di AS, yang merasa semakin terasing dan tidak mendapatkan perlindungan yang seharusnya.

Meningkatnya jumlah penerbangan deportasi serta kebijakan yang mengaburkan informasi terkait transportasi para tahanan memunculkan protes dan kekhawatiran di kalangan aktivis hak asasi manusia. Mereka menilai langkah-langkah ini sebagai upaya untuk mengurangi transparansi dan bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan. Aktivis mengharapkan adanya peninjauan kembali terhadap kebijakan deportasi ini agar dapat memberikan perlindungan lebih baik bagi mereka yang terjaring kebijakan imigrasi AS.

Selanjutnya, akan menarik untuk mengikuti perkembangan kebijakan ini dan dampaknya terhadap komunitas imigran di AS, terutama di tengah dinamika politik yang terus berubah.